Friday, August 31, 2007

Sudah Terbit: Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint

"...menggunakan PowerPoint itu seperti menaruh AK-47 yang terkokang di atas meja: kita bisa melakukan hal-hal yang sangat buruk dengan [benda] ini."
--Peter Norvig, Direktur Riset Google

Ruang rapat yang gelap. Slide yang penuh sesak oleh bullet point. Huruf-huruf yang terlalu kecil. Atau terlalu gelap. Dengan latar belakang yang terlalu ramai. Teks dan gambar yang berputar-putar. Musik yang mengganggu. Atau bahkan mencuci otak. Presentasi sering kali menjadi peperangan antara penyaji yang tidak kompeten melawan hadirin yang ingin kabur. Korban yang gugur dalam peperangan ini akan bergabung dengan para penyaji untuk melakukan kesalahan yang sama. Dengan kata lain, semakin lama kita berdiam diri terhadap berbagai presentasi yang membosankan, para pelakunya akan semakin bertambah.


Cukup sudah! Manfaatkanlah panduan dan tips dalam Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint (7DB PPT) melawan balik! Selain itu, buku ini juga berguna bagi mereka yang belum sadar untuk bahwa presentasi yang mereka sajikan justru menyulitkan orang lain untuk mengerti. Atau bagi para pembicara yang ingin mengetahui lebih dalam tentang penyusunan materi presentasi yang efektif.

"...mulai dari bagaimana menghilangkan boredom alias kebosanan, mengukur waktu yang tepat sehingga presentasi bisa berjalan dengan efisien tanpa membuang-buang waktu, penguasaan 'panggung', sampai dengan menyajikan presentasi yang membangkitkan rasa ingin tahu audiens... Tidak salah lagi, buku ini adalah satu-satunya yang akan menemani saya ketika mengalami kebuntuan dalam merancang dan merangkai presentasi PowerPoint."
--Jennie S. Bev, pembicara dan entrepreneur

7DB PPT bukanlah sekadar buku how-to. Ia mengajak pembacanya untuk membuka pikiran dan melihat kembali bagaimana orang-orang sering menyalahgunakan PowerPoint dalam praktik presentasi. Pengguna PowerPoint, Impress, Keynote, maupun software penyaji presentasi lainnya akan dapat menggunakan panduan praktis serta menghibur dalam buku ini untuk menyusun serta menyajikan presentasi secara kuat dan efektif.

"Buku ini bukan hanya tentang PowerPoint tapi lebih ke cara presentasi yang efektif dan menarik. Jika Anda seorang pembicara, dosen, manager, calon pembicara, calon dosen, maupun calon manager, buku ini sangat layak Anda baca."
--Samuel Prakoso, mantan pelaku 7 dosa besar


Dapatkan segera di toko-toko buku kesayangan Anda.


Detail Buku
__________________

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Perwajahan Muka: Sofnir Ali
Perwajahan Isi: Ryan
Ukuran: 15 x 23 cm
Halaman: 127
Harga: Rp30.000

Thursday, August 30, 2007

Hati-hati: Menyabotase Presentasi Sendiri

Saya baru mengikuti seminar Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Bandung yang membahas situs portal bisnis untuk perdagangan dan investasi. Presentasinya bisa saya simpulkan dalam dua kata: sakit kepala.

Pembicara seminar ini adalah dua orang berkewarganegaraan Jerman. Pembicara pertama mengaku sebagai pakar situs web dan yang kedua adalah wakil dari Kadin Hanover. Keduanya sukses menyabotase presentasi mereka sendiri.

Mari mulai dari penataan ruang yang mengundang bencana. Para pembicara duduk di panggung tengah, terhalangi meja. Lantas ada dua layar sorot. Satu di pojok kiri (dari arah hadirin) dan satu lagi di pojok kanan ruangan. Hebatnya, kedua layar ini menampilkan dua hal berbeda. Layar kanan menampilkan slide PowerPoint. Layar kiri menunjukkan situs web portal bisnis Jerman.

Pembicara pertama membaca slide, dan kami menoleh ke kanan. Pembicara ganti menunjuk tampilan situs, dan kami menoleh ke kiri. Kembali lagi ke slide. Ke situs. Begitu terus. Kalau saya ingin menolehkan kepala ke kiri dan kanan secepat ini, saya mendingan ikut aerobik.

Ingat kembali bahwa pembicara berdiri di balik meja. Di atas panggung. Ini juga memberi jarak dengan hadirin. Lantas dikombinasikan dengan slide yang berisi jejeran bullet point, hasilnya cukup ampuh: hadirin kehilangan minat. Awalnya, hadirin mulai malas menoleh. Lantas sebagian mulai sibuk sendiri atau mengobrol. Saya sendiri setengah mati menahan diri untuk tidak melantunkan reff satu lagu Project Pop, "Leng geleng geleng geleng geleng..." Beberapa orang ada yang pamit ke belakang. Tapi tidak kembali-kembali. Bisa jadi diculik oleh Gerakan Pembebas Korban PowerPoint Nasional.

Dalam buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, saya menuliskan bahayanya dosa besar keempat: menyulitkan pembacaan. Sewaktu-waktu, presentasi kita bisa tersabotase. Hadirin mengalami kesulitan menangkap apa yang ingin kita sampaikan. Ketika ini terus-menerus terjadi, mereka pun akan memutuskan untuk tidak lagi peduli.

Dan jangan salah: yang menyabotase presentasi kita, biasanya adalah kita sendiri.

Peristiwa di atas bisa dihindarkan dengan cara mudah: proaktif. Para pembicara dapat datang lebih awal dan ikut menata ruangan bersama panitia. Khusus untuk kasus ini, kita perlu memastikan bahwa tatapan hadirin dapat berpindah antara fokus perhatian dengan nyaman, tanpa menggerakkan kepala secara berlebih. Dan pilihan fokus perhatian ini sebaiknya hanya dua: diri kita dan layar. Kalaupun menggunakan dua layar, sebaiknya isinya sama. Layar kedua ini berfungsi sebagai alternatif bagi hadirin yang terlalu jauh dari layar pertama.

Dan yang tak kalah penting: singkirkan jauh-jauh semua penghalang antara kita dan hadirin.

Saat Brian Conley (pendiri aliveinbaghdad.org) diminta berbicara di depan podium, ia berbisik kepada temannya, "Kira-kira mereka bakal marah nggak kalau aku menendang podium itu hingga terguling?"

Berlindung di balik meja atau podium mungkin terasa lebih nyaman. Namun cobalah pikir lagi, apakah pernah ada pembicara yang berkata, "Wah, sambutannya meriah sekali! Untunglah aku membawa meja ini dari rumah." Tidak. Karena sebaliknyalah yang terjadi. Hadirin lebih menyambut para pembicara yang berani menampilkan diri secara utuh. Karena itu, hilangkan semua yang menghambat kita untuk menjalin kontak emosi dengan hadirin.

Sang pembicara pertama ini pun akhirnya sadar. Ia memutuskan untuk melangkah turun dari panggung, dan berdiri di dekat salah satu layar. Kini, kami dapat menatap kedua fokus perhatian dengan nyaman. Sang pembicara pun mulai berinteraksi, berbicara langsung dengan hadirin. Sesekali menanya bisnis apa yang digeluti seorang peserta. Atau apa yang mereka minati. Ia tidak lagi sekadar membaca slide.

Berkat itu, presentasi kembali hidup. Walau untuk sementara. Karena muncullah giliran pembicara berikut. Dan layar menayangkan slide baru yang berisi... lebih banyak lagi bullet point.

Saya langsung mencatat dalam hati, agar pulangnya nanti beli obat pusing.

Wednesday, August 15, 2007

Seni Tanya Jawab: Ubah Pola Pikir

Dalam final Imagine Cup 2007, tim Thailand menunjukkan cara yang unik dalam sesi tanya jawab. Setelah juri melemparkan pertanyaan, sang juru bicara akan mengulang pertanyaan tersebut. "Benarkah ini yang ditanyakan?" tanyanya kemudian.

Setelah juri mengiyakan, ia memberi isyarat kepada timnya. Dan apakah yang mereka lakukan?

Mereka berdiskusi internal dulu. Ya, di tengah sorotan ratusan hadirin, mereka membuat lingkaran tertutup dan mengobrol, seperti yang dilakukan Kwik, Kwek, dan Kwak (keponakan Donal Bebek) saat menyusun strategi. Seisi ruangan sampai riuh oleh tawa karena kelakuan tim Thailand ini.

Namun mereka sendiri tidak terpengaruh. Setelah mencapai keputusan, lingkaran itu pun bubar. Lantas sang juru bicara akan menyampaikan jawaban mereka dengan tegas. Cara ini terus mereka lakukan untuk menjawab setiap pertanyaan. Dan jawaban mereka selalu memuaskan, diiringi sikap yang percaya diri.

Cara ini mungkin selintas tampak konyol. Dan jelas tidak akan berlaku pada setiap kesempatan presentasi. Namun sebenarnya, mereka telah menunjukkan kepiawaian dalam seni tanya jawab. Ini terlihat dari beberapa tindakan:

    a) Mengulangi pertanyaan
    Tindakan sederhana ini memiliki banyak manfaat. Pertama, memastikan kita tidak salah tangkap. Kemampuan berbahasa Inggris tim Thailand tidaklah bagus. Namun, ini tidak membuat mereka malu atau gugup. Mereka malah meminta izin untuk melakukan diskusi lingkaran ini agar tidak salah tangkap. Bagi mereka, yang penting bisa menangkap pertanyaan dengan benar. Dan memberikan jawaban yang sesuai, tidak memutar-mutar.

    Kedua, membuat penanya merasa didengar. Ketiga, memastikan bahwa hadirin yang lain juga mendengarkan. Keempat, memberikan kita kesempatan untuk berpikir. Dan kelima, kita bisa membingkai ulang pertanyaan jika diperlukan.


    b) Membingkai ulang pertanyaan
    Fungsi membingkai ulang pertanyaan adalah mengubah arah (dan pola pikir) sesi tanya jawab. Umumnya, orang menganggap sesi tanya jawab sebagai ajang serang dan tangkis. Penanya menyerang, dan penjawab menangkis.

    Padahal ini adalah pola pikir yang salah.


    Kalau berpikir seperti itu, kita terdorong untuk mencari jawaban yang terdengar bagus. Bahasa ilmiahnya: ngeles. Padahal yang dibutuhkan adalah jawaban yang membantu hadirin untuk mengerti. Inti presentasi adalah penyampaian ide. Hadirin datang untuk memahami ide tersebut. Pembicara pun ingin hadirin mengerti. Berarti: pembicara dan hadirin memiliki tujuan yang sama.

    "Are we there yet?"


    Karena itu, pola pikir serang-tangkis keliru. Hadirin bukanlah musuh. Melainkan rekan perjalanan dengan tujuan yang sama. Tugas pembicara adalah menjelaskan ke mana arah presentasi ini dan sudah sejauh mana kita melangkah.

    Jika ada pertanyaan yang terkesan menyerang, bingkailah ulang menjadi konteks pola pikir bekerja sama. Apa manfaat dari pertanyaan itu. Lantas berikanlah jawaban yang mencerahkan.


    c) Menyampaikannya dengan tegas
    Jangan takut salah. Kalaupun fakta yang kita ungkapkan ternyata salah bukankah itu baik, karena sekarang jadi benar? Kalaupun pendapat kita ternyata berbeda dengan orang lain, bukankah itu wajar? Hingga lingkup tertentu, pendapat kita bahkan bisa berubah setelah saling berbagi dengan hadirin.

Ubahlah pola pikir kita tentang hadirin. Otomatis, kita akan menangkap esensi sesi tanya-jawab: membantu orang lain agar lebih memahami maksud kita.

Tuesday, August 14, 2007

Asal Mula Buku Tujuh Dosa Besar PowerPoint

Saya berhutang budi kepada seorang konsultan Teknologi Informasi (TI) dari Singapura yang namanya tidak akan saya sebut di sini (terutama karena saya sendiri tidak tahu namanya). Pada satu pagi hari yang cerah, ia mempresentasikan produk perusahaannya di hadapan sejumlah klien prospektif (di luar saya, yang hadir sekadar untuk menghabiskan snack).

Dalam ruangan yang terang benderang itu, ia menyorotkan materi PowerPoint-nya, yang tertulis dalam huruf berwarna putih di atas latar belakang hitam. Saat kami semua memicingkan mata, ia mengira kami begitu bersemangat dalam menyimak. Padahal, kami semua sedang berharap memiliki penglihatan super.

Dalam bahasa Inggris yang patah-patah, ia menjelaskan berbagai fitur produknya dengan semangat tinggi. Saking bersemangatnya, ia mengumbar banyak jargon dan singkatan, seperti XVMN.25, DHG, AB-Awareness.[1] Kemudian, di tengah-tengah presentasi, ia berkata, "Dan ini adalah contoh pengalaman perusahaan kami." Ia mengklik mouse-nya, dan di bagian atas layar muncullah judul yang masih dapat kami baca dengan jelas, "Fort Polio."

Lima belas menit setelah itu, saya berkeputusan untuk membuat buku mengenai kesalahpenggunaan PowerPoint. Awalnya saya masih belum yakin. Apakah yang saya tulis ini berlaku universal? Atau hanya bagi segelintir orang? Jadi saya coba masukkan bahan tersebut dalam berbagai sesi presentasi. Tulisan ini lantas menjadi bagian khusus dalam lokakarya Teknik Presentasi saya, dengan judul, "Tujuh Dosa Besar PowerPoint".

Selama tiga tahun lebih, tulisan ini terus semakin matang berkat berbagai masukan dan praktik. Hingga akhirnya Gramedia Pustaka Utama sepakat untuk bekerja sama menerbitkannya. Naskahnya sendiri sudah naik cetak tanggal 7 Agustus lalu. Dan kira-kira butuh waktu tiga atau empat minggu hingga selesai dan didistribusikan ke toko-toko buku.

Sampul Depan Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint
Sampul depan buku


Yang penting untuk kita sadari, pembicara tersebut bukanlah contoh khusus. Sebagian besar presentasi yang saya hadiri, baik berlatar belakang akademis, pemasaran, teknologi, penyuluhan, bahkan pelatihan, melakukan berbagai kesalahan yang sama. Presentasi yang seharusnya menjadi forum pertukaran ide akhirnya malah menjadi medan perang, antara penyaji yang tidak kompeten melawan hadirin yang ingin kabur.

Dalam bidang apa pun, kemungkinan besar Anda telah mengalami (atau menderita) hal yang sama. Semoga buku ini bisa bermanfaat. Minimal untuk melawan balik tradisi penyalahgunaan. Karena presentasi tidak harus membosankan. Apa pun software alat bantu presentasi yang kita gunakan (PowerPoint, Impress, Keynote, Flash, dll), sampaikanlah pesan kita dengan menarik.

__________________

[1]: Ini hanya contoh istilah asal yang saya karang sendiri. Tapi dari sudut pandang orang yang tidak mengerti dan tidak mendapatkan penjelasan, ya sama saja.

Wednesday, August 8, 2007

Bersenang-senang dengan Grafik

Dalam berpresentasi, saya sempat menganggap grafik seperti Uzi: efektif dalam menyampaikan pesan. Namun, kesalahan sedikit saja bisa membuat banjir darah. Untunglah, tahun lalu saya terdampar di blog Jessica Hagy. Semenjak itu, saya memandang grafik dengan perspektif berbeda. Grafik menjadi sahabat baru dalam menyampaikan pesan apa pun. Kadang sama sekali tidak ada hubungannya dengan angka.

Pada pelatihan menulis untuk bagian humas suatu departemen pemerintah, saya memulai dengan menayangkan beberapa contoh tulisan mereka yang mengangkat retorika dan janji menteri. Lantas saya melanjutkan ke slide berikut.



Setelah tawa mereda, saya baru kembali mengingatkan mereka akan hal yang sebenarnya mereka sudah tahu: fungsi humas juga termasuk mengetahui citra organisasi di masyarakat. Akan ada jarak antara citra yang ada dengan yang diinginkan. Tantangannya adalah memperkecil jarak tersebut. Selanjutnya mereka pun bisa menyimpulkan sendiri bahwa menulis janji dan retorika justru malah memperlebar jarak tersebut.

Dalam sesi berpikir kreatif, saya menggunakan grafik untuk mengajak hadirin beranalogi. Satu contohnya adalah berikut.


Tanpa grafik, saya bisa menggunakan contoh di atas dalam bentuk tebak-tebak, "Apa persamaan antara syukuran pernikahan dan kampanye partai? Dalam keduanya ada pengucapan janji, ada makan gratis, dan sama-sama bikin macet."

Tapi dengan grafik, saya bisa menyampaikannya dengan lebih mengena. Karena pada dasarnya grafik adalah alat bantu visual untuk menyampaikan pesan. Tidak harus mewakili angka atau statistik yang rumit. Saya saja yang sempat melupakan itu. Dan ironisnya, saya kembali sadar saat melihat blog Jessica yang justru menggunakan grafik untuk bahan tertawaan (dan renungan).

Jika Anda juga termasuk orang-orang yang memusuhi grafik karena terlalu sering di(salah)gunakan dalam presentasi, cobalah kunjungi blog Jessica Hagy. Semoga itu kembali mengakrabkan Anda dengan alat bantu ini.

Friday, August 3, 2007

Dua Alasan Penyebab Presentasi yang Membingungkan

Tim Aksara adalah empat anak muda dari Bandung yang akan mewakili Indonesia di kompetisi Microsoft Imagine Cup Korea 2007. Kompetisi internasional yang disponsori Microsoft ini bertujuan mencari software buatan kalangan akademik yang berprospek bisnis dan berdampak besar pada masyarakat. (Plus menggunakan teknologi Microsoft, tentunya.)

Kebetulan, dua anggota Tim Aksara, Octa dan Budi adalah teman kerja (dan futsal), sehingga saya sempat diajak berdiskusi mengenai presentasi mereka. Software yang mereka usung bernama ABC, merupakan alat bantu pembelajaran baca-tulis.

Octa menyampaikan satu hal yang mengganggu mereka. Terakhir kali mereka menggelar presentasi di hadapan para mahasiswa ITB untuk meminta masukan. Sejumlah keluhan muncul, bahwa presentasi mereka sulit dimengerti. Padahal seluruh hadirin berlatar belakang teknik. Kenapa bisa begitu? Dan ini gawat, mengingat sebagian juri nanti berlatar belakang bisnis. Dan tentunya mereka ingin penyajian yang sederhana dan mudah dipahami.

Setelah Octa dan Budi menunjukkan presentasi yang mereka susun, baru saya paham kenapa. Elemen-elemen presentasi mereka sudah bagus dan mendetail. Informasi disusun secara menarik. Mereka bahkan tidak menggunakan slideware. Mereka menayangkan grafik dan teks dalam bentuk Flash. Diselingi video dan demo program. Dengan kata lain, semua ini sudah tampak profesional.

Lantas kenapa orang tidak mengerti? Bukannya ini jauh lebih bagus daripada slide yang sekadar berisi bullet?

Alasan pertama: informasi yang mereka sampaikan saling bertabrakan.

Anggaplah satu tampilan adalah satu pesan. Saat menampilkan persentase populasi buta huruf di seluruh dunia, misalnya, apa yang ingin mereka sampaikan? Ternyata pesan bahwa buta aksara bukanlah sekadar masalah dunia ketiga, melainkan juga masalah negara maju. Sayangnya, yang muncul di layar adalah persentase. Jelas persentase negara maju terlihat kecil.

Saya menyarankan agar mengganti persentase dengan jumlah. Dan mencari data yang lebih menohok. Literacy Volunteers of America divisi Washington, sebagai contoh, menulis bahwa masih ada 40 juta orang dewasa yang belum fasih membaca (functional illiterate). Walau tidak buta aksara total, mereka masih kesulitan membaca berbagai teks berkaitan pekerjaan. Bahkan ada yang lulusan setingkat SMP dan tidak bisa membaca ijazah mereka. Jumlah ini lebih mencengangkan daripada persentase buta aksara total yang di bawah 5%.

Grafik merupakan salah satu kunci masalah dalam presentasi. Sering kali saya melihat seseorang menampilkan slide berisi grafik yang tidak jelas tentang apa. Baru paham setelah ia menjelaskan. Lebih parah lagi, penjelasan sejumlah pembicara malah berbeda dengan yang grafik yang ia tunjukkan. Grafik seperti ini sudah gagal memenuhi tugasnya. Kalau grafik ini adalah artileri, ia baru saja meledakkan gudang mesiu benteng sendiri.

Munculkanlah grafik sehingga orang langsung mengerti maknanya. Dan pilihlah bentuk yang sesuai. Jika ingin menunjukkan persentase, misalnya, gunakanlah bentuk kue. Gunakan batang jika ingin membandingkan jumlah. Jika terbalik malah membingungkan.

Bagaimana dengan video? Satu video mungkin memiliki beberapa situasi atau adegan. Namun, inti pesannya tetap satu. Terlalu banyak, dan hadirin pun bingung. Jika ada lebih dari satu inti pesan dalam video, potong-potonglah. Sampaikan terpisah. Pastikan bahwa hadirin memahami pesan pertama, sebelum bergerak ke pesan selanjutnya.

Alasan kedua: urutan informasi yang salah.

Bayangkanlah kita bertemu seorang teman lama.

"Saya baik-baik saja," sapanya. Saat kita melongo, dia melanjutkan, "Tapi sekarang sudah sembuh, kok."

"Euh, apa kabar?" tanya kita ragu-ragu.

"Minggu lalu saya sempat gejala DB," jawabnya. "Halo, apa kabar?"

Oh, baru kita ngeh. Dia baik-baik saja. Minggu lalu sempat kena gejala demam berdarah, tapi sekarang sudah sembuh.[1] Ini masih bisa kita mengerti karena dialognya sederhana. Sementara dalam presentasi, berbagai urutan informasi yang terbalik akan membuat hadirin kehilangan arah.

Sebagian besar masalah Tim Aksara pun dapat mereka atasi dengan sekadar mengubah urutan presentasi. Atau malah menghilangkan bagian presentasi. Satu klip animasi 3D cantik, misalnya, mereka buang karena terlalu panjang. Video menyentuh yang tadinya mereka taruh di urutan kedua jadinya mereka pasang di awal. Dengan begitu, video ini berhasil menarik perhatian hadirin dalam sepuluh detik pertama. Musik latar belakang yang sendu serta narasi yang kuat menyeret hadirin ke suasana hati yang pas.

Video berakhir dengan kutipan Kathleen Blanco yang menyimpulkan inti pesan, "Think about it: Every educated person is not rich, but almost every education person has a way out of poverty."

Dari sini, mereka bisa melanjutkan ke informasi literasi di Indonesia dan bagaimana ABC menjadi solusi yang lebih baik. Seterusnya pun lancar.

Presentasi pada dasarnya adalah seni merangkai pesan yang sinergis dan konsisten. Jika presentasi kita membingungkan orang, cobalah pisah masing-masing pesan dan jabarkan. Siapa tahu pesan kita tabrakan atau salah urutan.

Tim Aksara sendiri akan bersaing menuju posisi puncak dengan 55 tim negara lain mulai Senin ini (6 Agustus 2007). Sukses dan selamat berjuang bagi Tim Aksara!

___________________

[1]: Walaupun--seperti komentar Agung--masih perlu berkonsultasi ke psikolog.