Saturday, December 6, 2008

Kok Bisa Beda?

Dalam satu acara bernuansa teknologi, saya menjadi pembicara bersama-sama seorang yang jauh lebih senior. Sebut saja namanya A.

Sebelum acara mulai, saya berbincang-bincang dengan A terlebih dahulu. Ini kebiasaan saya agar lebih mengenal narasumber lain. Saya bisa tahu latar belakangnya; mengapa ia menjadi pasangan tandem saya dalam acara ini; dan bagaimana agar pembicaraan kami bisa saling berkaitan. Dengan begitu, hadirin juga bisa lebih mudah menarik benang merah antarsesi.

Pada saat bercakap-cakap ini, A sangat memukau saya. Ia memberi banyak pencerahan mengenai topik yang akan ia bawakan. Ia tampak begitu karismatik dan perhatian. Saat berbicara, ia menatap tepat pada mata saya dan sesekali menyentuh bahu saya, tanpa dibuat-buat. Ia menyelipkan banyak lelucon dalam ceritanya, dan tertawa terbahak-bahak saat balik mendengar lelucon saya. Ia membuat saya merasa seperti teman lama, hanya dalam pembicaraan lima belas menit.

Lantas, tibalah saat kami tampil.

Saya duduk di depan, menunggu-nunggu pembicaraannya. Hadirin juga sama. Ia membuka dengan salam lantas menyorotkan presentasinya.

Tampak slide berjejeran bullet point.

Di sini, saya masih memaklumi. Ia mungkin sudah terlalu terbiasa melakukannya. Dalam hati, saya berharap ia bisa menambalnya dengan cara berbicara seperti yang ia terapkan pada saya.

Ternyata, tidak. Ia menatap slide-nya dan membaca. Semua poin yang sudah tertera jelas di layar itu ia jelaskan. Tanpa memberi penjelasan. Sesekali ia berbalik. Namun, tidak jelas menatap siapa. Dan karena tidak menggunakan pengendali jarak jauh, ia jadi terjebak di balik meja.

Begitu terus selama empat puluh menit... dalam sesi yang seharusnya tiga puluh menit. Sang MC sampai harus maju ke depan dan menaruh kertas kecil di dekat meja pembicara. Sebanyak dua kali!

Itu pun tidak menghentikannya. Ia kembali membaca sejumlah slide terakhir. Dan seakan-akan kurang merusak, ponselnya berbunyi keras. Ia terpaksa berhenti dulu untuk mengambil ponsel dari kantong. Saya sampai berdoa dalam hati, "Jangan dijawab! JANGAN DIJAWAB!"

Untunglah tidak. Ia mematikannya. Lantas lanjut membaca sejumlah slide. Panitia tampak saling pandang, khawatir. Mereka baru tampak lega saat ia menutup dengan slide yang bertuliskan besar: "TERIMA KASIH".

Contoh seperti ini memang mencengangkan. Mengapa seseorang yang begitu karismatik dalam pembicaraan empat mata bisa begitu tak peduli pada hadirinnya?

Jangan kaget. Banyak sekali orang yang seperti ini. Mereka lupa bahwa presentasi itu sama saja dengan berbicara tatap muka.

Bayangkan seorang teman mengajak Anda berbicara. Lantas Anda bilang, "Sebentar, tunggu dulu. Saya ambil meja dulu." Anda kemudian menarik sebuah meja di antara kalian. Menyuruhnya mundur beberapa langkah, sebelum mulai bercakap-cakap sambil melihat ke arah lain.


Jangan ada meja di antara kita--ini yang bisa membuat mitra bicara jadi lawan bicara.


Aneh, kan? Tapi itulah yang dilakukan oleh banyak pembicara seperti A. Padahal A tinggal melakukan apa yang biasa ia lakukan dalam percakapan empat mata: membuat mitra bicaranya merasa seperti teman lama.

Dalam buku 7 Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, saya menulis bahwa sebaiknya kita menganggap hadirin sebagai satu entitas, dengan sejumlah mata. Anggaplah tiga: di kiri, tengah, dan kanan. Dengan begitu, kita tetap ingat untuk memerhatikan hadirin kita.