Tuesday, September 4, 2007

Necessity is the Mother of Action

Anda pernah ikut program outbound? Salah satu kegiatan yang biasanya masuk dalam program ini adalah flying fox. Intinya, kita akan menyeberangi jurang atau sungai dengan meluncuri tali dari ujung ke ujung. Tubuh kita diikat pada sebuah katrol beroda. Dan tangan kita memegang batang gantungan untuk menyeimbangkan tubuh saat meluncur. Titik pendaratan biasanya lebih rendah dari titik pemberangkatan. Jadi asalkan kita berani meloncat maju, gravitasi akan membantu kita sampai dalam beberapa detik saja.

Tetap saja, ini adalah pengalaman yang menegangkan bagi banyak orang. Ada saja yang akhirnya menolak atau batal meluncur.

Rasa takut itu wajar. Siapa yang bisa menjamin bahwa semua ini benar-benar aman? Bukankah risiko terjadi sesuatu di luar dugaan itu akan selalu ada? Dan juga, kenapa kita harus melakukan ini? Bukankah selama ini baik-baik saja?

Sekarang, mari kita beralih ribuan kilometer, ke Lembah Besar Nujiang. Di sini, anak-anak dari usia tujuh tahun berangkat ke sekolah dengan menggunakan "flying fox". Sebuah sungai lebar dan deras menghalangi jalan mereka. Dan satu-satunya cara adalah mengikat diri pada kerekan lantas meniti tali ke seberang. Gravitasi hanya menolong mereka hingga tengah sungai. Setelah itu, mereka harus menarik tubuh mereka sendiri sampai ujung. Satu-satunya pengaman hanyalah sabuk yang diikatkan di pinggang.

Ini bukan contoh satu-satunya. Anak-anak di salah satu desa terpencil Kolombia juga melakukan hal serupa. Dan mereka melakukannya pada ketinggian 365 meter. Seorang perempuan bernama Daisy bahkan meniti tali sambil menggendong keranjang berisi anaknya yang berusia tujuh tahun. Sekitar enam puluh orang menggunakan metoda transportasi ini tiap hari. Dan untungnya, tidak pernah terjadi kecelakaan berat.

Apa yang membedakan kita dengan mereka? Tuntutan dan kebutuhan. Ketika ada berbagai jalur lain yang tampak lebih aman, kita cenderung memilih itu. Ini karakteristik dasar manusia. Mereka berani dan membiasakan diri meniti jurang atau sungai karena memang tak ada alternatif lain. Saya yakin bahwa pada dasarnya tiap manusia pun memiliki potensi semangat juang dan adaptasi yang sama. Kalau kita terlahir di situ, kita pun akan seperti mereka. Memacu diri untuk maju, walau harus mempertaruhkan nyawa.

Karena itu, pada situasi tertentu, cobalah sudutkan diri kita sendiri. Misalnya, dalam berbicara. Kita tahu bahwa kemampuan berbicara di depan umum itu baik. Dan semakin banyak praktik semakin baik. Namun, kita enggan memulai. Muncullah alasan, "Kan ada yang lebih jago." Atau, "Kesempatannya juga nggak ada tuh. Kalau ada yang tiba-tiba nelepon minta sih boleh-boleh aja."

Salah satu materi panggung Jerry Seinfeld yang paling terkenal adalah saat ia membahas survei nasional tentang apa yang paling ditakuti warga negara Amerika. Peringkat nomor dua adalah kematian. Dan yang pertama adalah bicara di depan umum. "Kalau begitu," simpulnya, "saat menghadiri pemakaman, kita lebih suka berada di dalam peti mati daripada membawakan eulogy (pidato tribut bagi yang meninggal)."

Pada saat seperti ini, berhentilah membuat alasan. Sudutkanlah diri kita sendiri. Katakan pada rekan kerja bahwa presentasi berikut kita yang akan membawakannya. Saat ada tawaran berbicara di depan umum, langsunglah bilang, "Ya!" sebelum otak kita menciptakan alasan. Jangan tunggu telepon. Kitalah yang menelepon duluan menawarkan suatu materi. Saat diterima, segera akhiri pembicaraan sebelum kita mulai ragu dan bertanya, "Lho, kok mau sih? Yakin nih?"

Dan dengan begitu, kita pun tersudutkan. Tanggal sudah ada. Topik sudah ditentukan. Hadirin akan datang dan menunggu kedatangan Anda. Jurang itu sudah di depan mata. Dan kita perlu menyeberanginya.

Susunlah materi kita seakan-akan nyawa kita taruhannya. Siapkan tali, pengaman, dan cek ulang semua. Pada hari-H, tariklah napas panjang. Pandangi langsung jurang tersebut. Dan meluncurlah.

No comments: