Sunday, December 30, 2007

Terima Kasih!

Kebalikannya tentu berlaku. Saat inti pesan kita adalah "Terima kasih", pampanglah dengan tegas.

Saya mengucapkan terima kasih atas kejutan akhir tahun yang menyenangkan.

Redaksi Ruang Baca Koran Tempo mengadakan jajak pendapat pembaca buku untuk menjawab pertanyaan: "Apakah buku fiksi dan nonfiksi terbaik menurut Anda?"

Hasilnya diterbitkan dalam Koran Tempo tanggal 30 Desember 2007, dan ternyata 7 Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint menjadi salah satu dari tiga buku nonfiksi terbaik. Kutipan dari situs Ruang Baca:

Sedangkan tiga buku nonfiksi terbaik pilihan pembaca adalah 7 Dosa Besar Penggunaan Power Point karya Isman H. Suryaman, Antologi Drama Indonesia (1895-2000) oleh Sapardi Djoko Damono et.al., dan Cherish Every Moment karya Arvan Pradiansyah.

Saat nama seorang penulis humor bersanding dalam satu kalimat bersama seorang tokoh dunia sastra dan seorang pengamat kepemimpinan, reaksi pertama yang normal adalah memeriksa lagi, "Ini nggak salah cetak, kan?"

Saat akhirnya teryakinkan, reaksi kedua adalah, "Wow!"

Baru kemudian, "Terima kasih."

Saya menulis buku ini karena sudah mengalami kedua sisi presentasi; sebagai penyaji maupun hadirin. Saya pernah melakukan ketujuh dosa besar tersebut. Lantas sebagai peserta begitu banyak presentasi, saya menyadari kesalahan-kesalahan tersebut. Ratusan jam berlalu dalam siksaan bullet point yang membosankan, atau animasi yang membuat pusing. Dan saya berpikir, "Jangan sampai orang lain perlu mengalami siksaan begini banyak sebelum akhirnya sadar: ada pilihan lain yang lebih baik."

Dan lahirlah buku ini setelah empat tahun penyusunan. Agar Anda, pembaca, tidak perlu tersiksa selama saya sebelum bisa menggebrak meja dan berkata, "Cukup! Mari kita sampaikan pesan kita dengan cara lain--tanpa membuat siapa pun yang hadir menyesal telah berada di sini." Agar Anda bisa mempraktikkan cara atau pendekatan lain terhadap presentasi. Yang membuat hadirin tertarik untuk mendengarkan.

Atau sebagai pegangan untuk menyadarkan teman-teman Anda. Karena Anda sendiri sudah tahu, namun mereka tidak mau mendengarkan Anda. Semakin banyak orang yang sadar, akan semakin menguntungkan Anda juga.

Bayangkan dunia di mana setiap kali Anda menghadiri presentasi, Anda tahu bahwa Anda akan memerhatikan dengan penuh minat. Karena tiap sesi akan jelas, informatif, dan menarik. Kita akan selalu mendapatkan hal yang baru. Kalaupun bukan informasi, kita akan mengenal sudut pandang, pendekatan, maupun pengalaman baru.

Itu bisa tercapai saat semua penyaji presentasi peduli pada hadirin. Lantas mempersiapkan materi maupun penyajian sepenuh hati.

Yang perlu Anda siapkan adalah kepedulian itu. Lantas buku ini akan membantu Anda untuk menyampaikannya. Visi itulah yang saya bayangkan dalam menyusun 7 Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint.

Saya berterima kasih karena hasil jajak pendapat Ruang Baca Koran Tempo menunjukkan bahwa banyak pembaca yang juga berpikiran serupa. Itu sangat melegakan.

Mari kita wujudkan dunia di mana presentasi adalah sesuatu yang menarik dan mengasikkan--baik bagi penyaji maupun pesertanya.

Dua Kata yang Perlu Dijauhkan Dari Slide Penutup

Adalah "Terima kasih".

Kecuali, kalau presentasi kita memang intinya adalah "Terima kasih". Menyampaikan apresiasi pada rekan kerja di kantor, misalnya. Namun, saat bukan, jauhkan dua kata ini dari slide. Terutama dari slide penutup. Karena tulisan salah tempat itu akan melemahkan inti pesan kita.

Cukup ucapkan saja. Namun, jangan tempelkan di slide. Slide penutup itu akan terus membekas dalam benak hadirin saat mereka pulang. Sayang sekali kalau mereka hanya mengingat: "Terima kasih" alih-alih "Tulislah setiap ide yang muncul!" (sebagai contoh).

Gunakanlah slide penutup untuk menyampaikan inti pesan kita yang terkuat.

Tuesday, December 25, 2007

Orang Pintar, Terdengar Bodoh

Jangan sampai terjadi pada kita. Hilangkan kebiasaan mengucapkan kata-kata kosong. Misalnya: "Eum..." atau "Apa namanya..."

Dalam sebuah seminar nasional, seorang ahli telekomunikasi sempat berkata seperti ini, "Jadi, apa namanya... Wimax itu tidak, apa namanya... lebih cepat daripada, apa namanya... Wi-fi. Wimax itu hanya, apa namanya... lebih luas jangkauannya karena menggunakan teknologi, apa namanya... microwave."

Sangat mengganggu.

Hilangkan kata-kata kosong. Jika kita perlu waktu untuk berpikir, gunakanlah jeda. Atau ajaklah hadirin untuk berpartisipasi mengajukan jawaban.

Di Amerika Serikat, salah satu contoh kata kosong ini adalah "like". Saking parahnya, sampai Academy of Linguistic Awareness membuat iklan layanan masyarakat berikut ini.


Tidak mau terdengar bodoh? Berhentilah mengucapkan "like" (secara berlebihan).


(Saya rasa kita juga perlu mengobarkan kampanye serupa untuk melawan penyalahgunaan "secara".)

_____________________

Terima kasih pada Eko untuk menunjukkan URL gambar di atas.

Wednesday, November 21, 2007

Yang Kita Lakukan, Bukan Yang Kita Katakan

Dalam buku It's Not What You Say, It's What You Do, Laurence Haughton menyampaikan bahwa kita bisa menyabotase pesan melalui tindakan yang bertolak belakang. Sebaliknya, kita juga bisa mengomunikasikan pesan dengan efektif melalui tindakan; tanpa perlu banyak omong.

Sebagai contoh, dalam lokakarya teknik presentasi, saya menyampaikan pentingnya menatap mata hadirin dan "menguasai panggung" (alias bergerak dalam ruangan secara efektif--menjangkau hadirin). Namun, bayangkan jika saya menyampaikannya dengan meringkuk di balik komputer. Atau terus-menerus menatap layar proyektor. Pesan yang sampai pada hadirin adalah, "Kalian lakukanlah itu, aku sih malas."

Jelas, itu tidak akan menggugah siapa pun.

Contoh yang lebih global adalah Dirjen Pajak. Akhir-akhir ini, mereka semakin gencar berkampanye, "Milikilah NPWP!" Saking bersemangatnya, mereka sampai mencuri catchphrase Naga Bonar (Jadi) 2: "Apa kata dunia?"

Tapi, ternyata, Ditjen Pajak Darmin Nasution sendiri tidak memiliki NPWP.

Bandingkan dengan John Latham, seorang kepala sekolah negeri di Inggris. Seperti diungkapkan di buku Why Should Anyone Be Led By You? karya Rob Goffee dan Gareth Jones, John mulai menjabat posisinya dengan hemat berkata-kata. Ia hanya mendengarkan para rekan kerjanya. Lantas bertindak. Alih-alih berkata, "Mari buat perubahan, mulai dari hal yang terkecil!" ia langsung mendatangi tiap kelas, ikut mengganti jam yang rusak. Atau penghapus yang sudah buluk. Ia bahkan memunguti sampah yang berserakan di halaman. Lambat laun, dari keadaan yang terpuruk, sekolah itu akhirnya menjadi sekolah percontohan nasional.

Sering kali, kata-kata menjadi tidak efektif. Apalagi saat diobral murah. Kala itu, lakukanlah. Jangan katakan.

_________________

Terima kasih pada Yudi.

Monday, November 19, 2007

Kejutan dari Paman

Salah satu penulis favorit saya, Paman Tyo, membahas buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint dalam judul yang kompletnya sih Buku yang Menghina Pembaca (Tapi Layak Beli).

PANDUAN PRAKTIS DAN LUCU UNTUK PRESENTASI.

Saya betul-betul terhina oleh buku ini. Sudah keluar duit, eh setelah membaca saya merasa ditelanjangi. Sialnya saya tak dapat menyangkal atau berdalih karena yang dia nyatakan memang benar.

Penulis buku ini, seorang blogger, memang semaunya sendiri. Untunglah dia cukup menelanjangi tanpa mempermalukan. Bahwa si pembaca akan malu sendiri, itu ibarat beli cermin di depan gedung parlemen lantas setibanya di kamar dicoba untuk memeriksa panu. Si penjual cermin tak bersalah. Dosanya tak sebesar pemasang kamera pengintip di kamar kecil dan kamar ganti.

Lebih sial lagi, si penulis menelanjangi pembacanya secara cengengesan. Kesalahan orang lain** dia anggap menggelikan. Saya ingin tahu apa saja asupan harian dia sehingga bisa menulis lucu, dan jadilah buku panduan presentasi dengan PowerPoint...


Selengkapnya di sini.

Terima kasih atas apresiasinya, Paman. Ternyata satu hikmah menulis buku adalah: bisa kenalan dan ngobrol dengan idola, haha. Karena selama ini mampir di blog beliau, baru sekarang akhirnya bisa ngobrol (sok) akrab.

Salam Sayang dari Teman (Maya)

Seorang bijak (yang sudah lama meninggal--sehingga bisa membuat kita mempertanyakan seberapa bijak sebenarnya dia) pernah berkata bahwa jika membutuhkan masukan yang jujur, tanyalah teman. Tentunya, saat itu belum ada Friendster--media yang membuktikan sebaliknya.

Tapi, setidaknya sebagian kata-kata itu masih berlaku. Setidaknya itu yang saya tangkap dari obrolan Snydez mengenai Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint. Kesan pertama dia adalah: bingung--"Apakah ini benar buku humor?"

Meminjam kata Richoz: baiklah. Di sampul belakang buku, memang tertulis "Teknik Presentasi". Namun, untuk cetakan berikut akan saya usulkan pada GPU agar menambahkan, "Bukan Buku Humor--Serius!"[1]

Berikut sebagian masukannya lagi.

setelah membaca mengenai bab penggunaan bullet, gue agak kurang setuju. lha emang itu khan gunanya powerpoint, supaya jadi ringkes. kalo emang mau mempunyai jalan cerita, apa engga lebih baik pake microsoft word?

lalu membaca bab mengenai tata letak ruangan dan layar. halah! ini paling susah, karena yang namanya ruang meeting, kemungkinan besar layout nya udah baku bentuk dan posisinya. yang bisa berubah adalah penontonnya, boleh dikiri boleh di kanan, boleh dibelakang, tapi layar dan proyektor kemungkinan udah baku.
jadi bab tersebut hanya untuk proyektor dan layar tenteng yang bisa dipindah bawa.

yah, paling itu yang aga nge ganjel *wink*

mengenai cara menuliskannya, isman ternyata masih menggunakan humor. jadi biarpun inti tulisannya serius tapi cara menuliskannya bisa dibilang agak semi-formil. sehingga gak terlalu bosen...

Selengkapnya di sini.

Terima kasih, Snydez!

_____________________

[1]: Usul yang--saya yakin--akan segera ditolak.

Thursday, November 15, 2007

Fatal: Ketidakacuhan Semantik dalam Presentasi

Dalam perjalanan ke kantor, saya bertemu mobil kijang yang dicat khusus. Di bagian sampingnya tertulis, "Kampanye Ketertiban Pelaksanaan Aturan Lalu Lintas". Sedangkan di bagian belakang, tertempel stiker miring yang sepertinya ingin menyampaikan dua kalimat: "Stop pelanggaran! Disiplin itu indah."

Sayangnya, peletakan tanda bacanya meleset. Jadinya kira-kira seperti ini.


Banyak sekali penganut slogan ini yang meramaikan lalu lintas Jakarta dan Bandung.


Moral cerita ini berlaku juga untuk presentasi. Jika kita ingin menayangkan sesuatu pada layar besar: periksa dulu tulisan maupun gambarnya. Kesalahan tulis maupun ambiguitas makna bisa berakibat fatal.

Sekaligus: jika Anda tidak tahu fungsi yang namanya SpellCheck (dalam MS PowerPoint bisa diakses dengan menekan tombol F7), jangan gunakan istilah Inggris. Bahkan itu pun tidak cukup. Karena ada saja tulisan yang sintaksnya sudah benar. Namun menggelikan secara semantik. Cukup sekali dalam seumur hidup sajalah saya menghadiri presentasi jasa e-commerce yang menyajikan slide penutup bertuliskan kalimat berikut.

Berarti, dengan menulis blog, saya baru saja menawarkan diri dengan diskon sampai 50%. Yay!



________________________

Contoh lain bisa Anda lihat di Galeri Ketidakacuhan Semantik Nasional.

Monday, November 5, 2007

Tanya Jawab: Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint #6?

Tanya (via Forum): Mengapa mengukur lamanya presentasi berdasarkan jumlah slide adalah Dosa Besar? Biasanya, setiap slide yang saya buat akan saya tambahkan juga sebuah narasi yang harus dibaca jadi saya bisa menghitung lamanya waktu presentasi tersebut.


Jawab: Seperti saya ungkapkan dalam buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, "Dosa Besar" adalah istilah yang saya gunakan untuk mengacu kesalahkaprahan dalam praktik presentasi. Bisa jadi yang Mas lakukan memang bukan Dosa Besar #6. Karena ada garis halus antara "mengetahui secara naluriah berapa lama waktu membawakan keseluruhan presentasi" dan "menyamaratakan waktu pembacaan seluruh slide". Yang salah kaprah adalah yang kedua, bukan yang pertama.

Gambarannya begini: Guy Kawasaki menggunakan praktik 10/20: 10 slide yang disajikan tidak lebih dari 20 menit. Tapi, ia tidak menyajikan masing-masing slide secara saklek harus 2 menit. Bagian yang singkat ia bicarakan pendek saja. Yang perlu detail akan ia bahas lebih panjang. Ini adalah praktik umum.

Namun, jika kita menyamaratakan bahwa, "Ah, tiap slide paling kubacakan lima menit saja." Jadi untuk presentasi 2 jam, kita selalu membawakan 120/5 = 24 slide. Setengah jam selalu 30/5 = 6 slide. Dan seterusnya. Ini yang salah kaprah. Karena kita jadi terpaksa memanjang-manjangkan pembahasan poin/pesan yang sudah dipahami oleh hadirin. Atau sebaliknya, memburu-buru waktu dengan mempercepat pembahasan satu slide yang terlalu berjubel informasi, jadinya hadirin nggak sempat menangkap inti pesan kita.

Bayangkan saja misalnya saya sedang berbicara mengenai teknik penulisan. Lantas sampai pada slide analogi berikut yang menjelaskan pencarian inspirasi.


"Genggamlah inspirasi bagaikan peselancar mencari ombak: raihlah yang ada, jangan hanya menunggu yang besar. Tak jarang, ombak kecil justru berujung menjadi besar dan hebat. Uh... hmm, baru semenit, ya? Ngomong apa lagi--ah, iya, celana pria di gambar itu bagus, ya? Aku pengin beli yang seperti itu, tapi nyarinya susah da--lho, kok pada tidur?"


Anda mungkin tertawa, "Masa sih ada yang kayak gitu?"

Jangan salah. Banyak yang berlaku seperti itu. Ciri-cirinya mudah: mereka membahas poin-poin slide seakan membaca kata per kata. Lantas berusaha menjelaskannya lebih lanjut, dengan mengulang kata-kata itu. Atau malah menerangkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan. Intinya: mereka memanjang-manjangkan berbicara karena berasumsi bahwa kira-kira satu slide harus dibacakan beberapa menit.

Dosa Besar #6 ini memang paling sering terjadi pada orang-orang yang bikin presentasi sembarang, lalu tidak melatih penyampaiannya terlebih dahulu. Lebih parah lagi jika presentasi itu pun bukan mereka sendiri yang buat.

Ubahlah kebiasaan buruk ini, demi kepentingan hadirin kita juga.

Cara paling mudah menghindari salah praktik ini sederhana saja: susun sendiri presentasi kita dan latihlah penyampaiannya. Saat kita mencoba menyajikan presentasi yang sudah kita susun terlebih dahulu, otomatis kita jadi tahu: mana yang perlu kita tekankan, mana yang cukup dibahas selintas. Bahkan kita bisa menyadari beberapa rangkaian logika yang tidak alami. Sering kali saat menyusun, kita salah membayangkan cara penyampaiannya.


Singkatnya:
----------------
  1. Salah kaprah dalam Dosa Besar #6 menyangkut pelaku yang menyamaratakan waktu penyajian slide. Bukan yang dapat mengukur secara alamiah berapa lama presentasinya. Panduannya: jika kita tahu mana slide yang harus disajikan secara cepat dan mana yang perlu dibahas lebih lama, itu bukan salah praktik. Tapi kalau cara penyampaian kita sampai didikte oleh asumsi sama rata (contoh: tiap slide tiga menit, lah) kita sendiri, itulah yang salah kaprah.

  2. Susunlah sendiri materi presentasi kita. Lantas latihlah menyampaikan presentasi tersebut secara utuh. Itu akan membantu kita menghindari Dosa Besar #6.

Thursday, November 1, 2007

Celah Dosa Besar: Slide Transition

Berkat Yaya, saya kini bisa mengulik MS PowerPoint 2007. Terima kasih!

Dibandingkan PowerPoint 2003 (atau sebelumnya), antarmuka baru memang sekilas lebih enak digunakan. Namun, sebenarnya perubahan ini lebih banyak membantu bagi orang yang belum terbiasa mengulik PowerPoint versi sebelumnya. Bagi yang sudah, sebagian perubahan ini malah menambah kerja. Untuk mengakses Custom Animation, misalnya, kini harus mengklik submenu atas dua kali. Padahal dulu tinggal klik kanan di objek yang ingin kita animasikan.

Tentu saja, sebagian lain memang menghemat energi. Pilihan mengubah-ubah objek maupun latar belakang slide, misalnya, bisa ditemukan di submenu atas dengan mudah.

Lebih penting lagi: anggaplah submenu Slide Transition seperti wabah pes. Dan hindari sekarang juga.

Hampir semua Slide Transition hanyalah efek sok keren yang membuat laju presentasi jadi gagap.


Mengapa begitu? Karena transisi slide itu hampir selalu tidak berguna. Lebih sering mengganggu, malah. Sebagai hadirin, saya tidak merasa perlu melihat tiap slide muncul garis demi garis, membentuk pola-pola geometrik yang memusingkan, atau berputar-putar.

Apalagi kalau pembicara jadi terpaksa diam dulu...
...beberapa...
...saat...
...berhubung...
...slide-nya...
...masih...
...sibuk...
...berputar-putar.

Lebih baik gunakan saja Custom Animation untuk objek-objek slide berikutnya.
Di gambar atas, misalnya, daripada saya membuat transisi antar-slide penuh gambar, lebih baik menganimasikan gambarnya untuk muncul dengan Fade atau Faded Zoom berkecepatan Very Fast.

Apa bedanya?

Karena praktik ini mensimulasikan kehidupan nyata. Kalau kita ingin menunjukkan sesuatu, kita mengeluarkan barang itu, misalnya, dari saku. Kita tidak meneleportasi para hadirin ke ruangan yang ada barangnya. Praktik kedua ini hanya dilakukan oleh orang yang menyombongkan kekuatan sihir (atau teknologi) dalam konteks yang sama sekali tidak berguna. Sama saja dengan transisi slide.

Jadi, animasikanlah objeknya. Bukan slide-nya.

Kalau ada banyak objek dalam slide?
Atur agar mereka muncul pada urutan yang sesuai dengan cara penyampaian. Jika hadirin perlu melihat gambar dulu baru teks, ya munculkan gambar dulu. Lantas teks dimunculkan setelah itu. Kalau tidak penting urutannya, ya munculkan berbarengan.

Dan ingat: sebisa mungkin atur agar kecepatan animasinya Very Fast.

Tuesday, October 16, 2007

Terima Kasih: Author of the Week

Terima kasih atas apresiasi teman dan rekan semua dalam satu setengah bulan terakhir. Karena saya yakin berkat dukungan kalian semua jugalah saya jadi menerima tiga kabar baik terakhir:

  1. Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint masuk daftar Bestseller di BukaBuku.com

  2. Profil saya menjadi Author of the Week di Gramedia.com

  3. Satu karya flash fiction saya berjudul "Do not disturb: Suicide in progress" juga masuk dalam The Asia Literary Review jild 5, musim gugur 2007.

  4. Bagi yang belum tahu flash fiction atau fiksi kilat itu apa, bentuk penceritaan ini juga dikenal sebagai cerpen pendek atau cermin (cerita mini). Lebih singkat daripada cerita pendek, sehingga dalam dasawarsa terakhir populer sebagai karya online--di mana orang memiliki ambang kenyamanan membaca yang lebih kecil dibandingkan buku fisik. Namun, kekuatan fiksi kilat sendiri dalam mengejutkan pembaca atau menampilkan bayangan visual menjadikan bentuk ini populer juga di dunia nyata. Terutama bagi para pembaca yang sibuk (selagi bertapa di kamar kecil, bisa menghabiskan hingga sepuluh cerita). Atau bagi penulis yang memiliki banyak gagasan untuk diwujudkan.

    Versi Indonesia "Do not disturb: Suicide in progress" sendiri dimuat dalam antologi Jangan Berkedip, yang ditulis saya bersama mitra hidup saya, Primadonna Angela.

Sekalian dalam masa pasca Lebaran, saya mengucapkan terima kasih lahir dan batin! Mari terus berkarya dalam bidang yang kita tekuni. Dan berikhtiar dalam apa yang kita bisa lakukan.

Tuesday, October 2, 2007

Melihat Karena Percaya

Gambar penari di sebelah ini menyebar luas di Internet dengan subjek: Apakah Anda dominan otak kiri atau kanan?

Gambar seutuhnya sendiri dapat dilihat di sini. (Silakan klik untuk melihat animasinya. Dan terima kasih kepada Santa untuk menyediakan tempat.) Konon, jika kita melihat penarinya berputar searah jarum jam, berarti otak kiri kita yang dominan. Dan sebaliknya, otak kanan yang dominan jika berputar berlawanan jarum jam.

Apa benar begitu?

Sepertinya tidak. Menurut rekan kerja saya, Wahyudi Pratama, seorang desainer grafis berpengalaman, gambar ini hanya menggunakan trik untuk menipu mata kita. Animasi gif ini sebenarnya terdiri dari dua bagian, bagian dengan sang penari mengangkat kaki kiri. Dan bagian yang mengangkat kaki kanan. Dengan kata lain, ini sebenarnya gambar yang dibalikkan dengan efek cermin (mirror). Lantas dianimasikan dengan gaya pendulum. Sehingga terasa seakan-akan berputar penuh.

Ini kuncinya: saat otak kita sudah memutuskan bahwa sang penari berputar berlawanan arah jarum jam seterusnya kita akan melihatnya begitu. Sebaliknya juga berlaku. Ini bukanlah masalah bagian otak yang dominan. Ini lebih ke arah ilusi mata.

Bagaimana cara melihat putaran sebaliknya? Cobalah lihat ke atas layar komputer. Tapi pertahankan gambar tetap terlihat di ujung bawah mata kita. Lantas, paksa otak kita untuk melihat agar gambar tersebut berputar ke arah sebaliknya. Saat berhasil, pelan-pelan turunkan pandangan kita hingga menatap langsung ke gambar. Begitu saja.

Jelas, ini bukan berarti bahwa dominasi otak kita berubah hanya dengan mengangkat pandangan. Ini hanya menunjukkan bahwa ilusi ini bisa kita lawan dengan trik penangkalnya.

Satu kunci lagi: jika kita menyangkal bahwa animasi ini bisa kita lihat berputar ke dua arah berbeda, kita tidak akan bisa melihatnya. Dalam kasus ini, kita tidak percaya dengan melihat. Seeing is not believing. Justru malah kita melihat karena percaya. Believing is seeing.

Dalam perbedaan pendapat, sering kali inilah yang terjadi. Kita dari awal sudah menyangkal kata-kata orang lain. Karena itu, kita otomatis menolak untuk mendengarkan. Kita tidak akan melihat bahwa ada sudut pandang lain.

Padahal, kita bisa melihat gambaran secara utuh saat kita mengerti minimal kedua sisi yang bertolak belakang. Seperti pada contoh penari ini. Kita bisa tahu ini adalah ilusi mata, hanya setelah kita bisa menerima bahwa putarannya bisa searah jarum jam, atau berlawanan arah. Tergantung cara kita memandang.

Saat ada pendapat yang sama sekali bertentangan dengan kita, cobalah telusuri dahulu. Jangan serta-merta menolaknya. Jangan-jangan ada gambaran utuh yang kita lewatkan, hanya karena kita menolak untuk melihatnya.

Saturday, September 29, 2007

Berbicara Efektif: Hilangkan Tiga Kata Saja

Danny I. Yatim, Media & Communication Adviser dari GRM International, mengadakan lokakarya berpresentasi efektif. Salah satu materinya adalah kesalahpengggunaan tiga kata yang perlu kita hilangkan dari kebiasaan berbicara kita. Penggunaan tiga kata ini berakar pada budaya rendah hati yang pada dasarnya baik. Sayangnya, berdampak buruk pada kekuatan pesan kita.

Apa saja tiga kata itu?

  1. Kebetulan

  2. - "Kebetulan, saya ditunjuk sebagai ketua panitia."
    - "Kebetulan, Pak Danny berada di sini untuk menyampaikan bagaimana cara presentasi yang baik."

    Danny biasanya langsung memberikan faktor kejutan dengan menyampaikan, "Bapak-bapak mungkin kebetulan berada di sini. Tapi saya tidak. Saya tidak kebetulan ada di sini. Saya memang sengaja ke sini untuk kepentingan Bapak-bapak semua."

    Kalau memang bukan kebetulan, jangan gunakan kata ini. Tunjukkan niat dan keinginan kita sejelas-jelasnya. "Saya dipilih sebagai ketua panitia berdasarkan kesepakatan kita bersama. Karena itu, saya mengharapkan kerja sama Anda semua."

  3. Mungkin

  4. - "Alternatifnya mungkin ada dua..."
    - "Solusinya mungkin bisa kita temukan dengan cara..."

    Hilangkan kata "mungkin" dalam konteks di atas. Yang pasti-pasti saja. Kalau memang penting bagi hadirin untuk mengetahui probabilitas, sampaikan dengan jelas. "Ini adalah solusinya. Berdasarkan pengalaman kita dari tahun 1995, kemungkinan berhasilnya 75%."

  5. (Akan) Mencoba

  6. - "Saya akan mencoba menyanyikan sebuah lagu."
    - "Saya coba jelaskan dengan diagram berikut..."

    Seperti yang disampaikan Yoda dalam Star Wars, "Lakukan [saja]. Jangan mencoba."

    Hilangkan semua percobaan dan jadikanlah pesan yang kuat:
    + "Saya akan menyanyikan sebuah lagu."
    + "Lihat diagram berikut."

Apakah tiga kesalahpenggunaan kata ini sudah Anda hilangkan dari gaya bicara Anda?

Friday, September 21, 2007

Tanya Jawab: Kecepatan Custom Animation = Very Fast?

Tanya: (via email)
Halo mas Isman, kenalkan nama saya Ali. Selain salah satu mahasiswa itb, saya baru saja membeli buku "7 dosa besar penggunaan powerpoint". Setelah membaca buku anda, ada satu kalimat yang membuat saya ingin bertanya. Pada hal 81 baris ke 2 "...jangan gunakan speed dibawah very fast..."

Apakah ini tidak akan membuat kita terlihat seperti sedang "kejar tayang?"

Mohon dibahas lebih lanjut. Terima kasih.

Jawab:
Saya senang Anda memutuskan untuk bertanya. Hal itu juga sudah pernah ditanyakan beberapa kali oleh peserta lokakarya saya dulu.

Jawabannya tidak. Pilihan Very Fast akan membuat animasi bergerak cepat. Tapi tentunya tidak membuat kecepatan berbicara kita makin tinggi. Kecepatan Very Fast akan membuat hampir tidak ada jeda antara saat kita selesai berbicara satu pesan (dengan kecepatan normal), dan pesan berikut (saat kita mengklik mouse/menekan Pg Dn).

Saya ilustrasikan biar jelas. Misalnya kita ingin menggerakkan anak panah yang menunjuk tiga benda. Kita mengakali ini dengan memunculkan anak panah, menggesernya ke benda pertama dan berhenti. Lantas, On Click, anak panah itu akan hilang. Anak panah baru akan muncul dari tempat anak panah yang lama, dan bergerak ke benda kedua. Hal serupa kita lakukan untuk benda ketiga.


Saat slide berjalan, anak panah menunjuk benda satu. Kita berbicara mengenai benda tersebut.


Lantas, sambil mengklik mouse/remote clicker, kita berbicara tentang benda kedua. Nah, jika kecepatan animasinya di bawah Very Fast, akan makan waktu minimal satu detik untuk mencapai benda berikut. Waktu ini menjadi jeda.

Ilustrasi lain: kita ingin menampilkan tiga slide gambar berturutan (yang dianimasikan dengan Fade In). Jika kita menggunakan kecepatan di bawah Very Fast, akan memakan waktu kira-kira dua detik sebelum gambarnya muncul. Ini juga jadi jeda.

Mengapa jeda sedetik dua detik ini masalah? Karena saya sudah terlalu banyak melihat pembicara yang diam dulu, menunggu gerakan selesai (atau gambar muncul), sebelum melanjutkan. Ini adalah jeda yang sia-sia. Dan membuat komunikasi kita jadi kaku, tidak mengalir lancar. Ingatlah bahwa tayangan slide itu mendukung pembicaraan kita. Bukan kita berbicara mengikuti slide.


Saya juga menulis dalam buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, bahwa variasikanlah jeda saat kita ingin menekankan suatu pesan. Jika kita ingin memastikan hadirin menangkap apa yang kita omongkan sebelum bergerak ke omongan selanjutnya: gunakanlah jeda.

Nah, jeda di atas itu tipe yang sia-sia. Karena kita tidak sengaja membuatnya. Itu adalah jeda akibat gambar/gerakan yang lambat. Jika ini berlangsung terus-menerus, hadirin bisa kesal.

Singkatnya:
-------------

  1. Secara umum, anjuran kecepatan Very Fast bertujuan meminimasi waktu kemunculan/animasi gambar.

  2. Kata kuncinya "umum". Karena ini bukan aturan mati. Saya sudah mencontohkan dalam perbandingan Proses Perizinan (hal. 36-39), bahwa kita bisa mengatur dalam kecepatan animasi yang lebih rendah, seperti Fast, Medium, atau bahkan Slow untuk tujuan tertentu (kecuali untuk membuat hadirin sakit kepala).

  3. Jika kita menganimasi serangkaian panjang animasi, kendalikanlah pacunya dengan mengeset On Click pada beberapa poin penghentian penting. Ini akan membantu kita untuk menyesuaikan pembahasan. Bisa saja kita ingin menambah informasi di poin tertentu.

  4. Yang paling penting: ingatlah bahwa kendali kecepatan presentasi itu ada pada kita. Bukan pada animasi.


Semoga menjelaskan. Silakan jika ada pertanyaan lagi atau masukan. Saya juga akan menghargai jika Anda ingin berbagi pengalaman berpresentasi.

Kunci Menghilangkan Rasa Gugup Saat Berbicara

Rabu kemarin, saya diundang untuk berbicara di depan para penulis Kompas di Grha Kompas Gramedia Bandung, mengenai penyusunan dan penerbitan naskah buku. Jadwal acaranya sendiri? Kamis besoknya.

"Waduh," adalah pikiran pertama saya yang muncul. Saya harus berbicara berkaitan penulisan di depan para penulis profesional. Dan hanya punya waktu sehari untuk mempersiapkannya. Satu tantangan lagi: saya juga sedang dalam proses pemulihan diri akibat reaksi alergi. Mata saya bengkak sebelah. Dan kulit muka saya begitu kering, sehingga pinggiran bibir, hidung, dan mata sedikit terbelah. Kalau senyum saja sakit. Bagaimana kalau berbicara?

"Maaf mendadak, Mas," ujar Mas Rinto, Manajer Pemasaran Gramedia Pustaka Utama (GPU) Bandung. "Bisa nggak, dengan jadwal begitu?" tanyanya lagi via telepon.

"Bisa, Mas!" sambut saya sigap, sebelum keraguan kembali muncul. Dan dengan begitu, saya sudah menyudutkan diri sendiri. Saya pun meneguhkan diri untuk melakukan persiapan hidup-mati.

Dari korespondensi SMS, saya menanyakan berbagai informasi berkaitan calon hadirin dan kesediaan alat. Ternyata saya akan membawakan materi tersebut bersama Anjar (novelis). Sementara Kang Dedi Muhtadi (Kepala Biro Kompas Jawa Barat) berbagi mengenai penerbitan artikel di Kompas.

Saya kembali ragu. Berbicara mengenai kepenulisan di hadapan para penulis profesional? Apa bukan seperti--meminjam istilah Kang Dedi--mengajari bebek berenang? Gugup kembali menyerang. Bibir dan kelopak mata saya mendadak terasa perih.

Namun, saya teringat bagaimana Diane DiResta menulis di buku Knockout Presentations bahwa ia pernah mengalami keraguan serupa. Saat itu, ia harus berbicara mengenai teknik presentasi di hadapan para pembicara profesional, yang tergabung dalam National Speaker Association. Saking gugupnya, ia sering memeriksa kembali busananya, takut salah mengancingkan.

Namun kegugupannya mendadak hilang saat ia menyadari satu hal: ia terjebak dalam pola pikir yang salah. Ia terlalu sibuk memikirkan bagaimana membuat hadirinnya terkagum-kagum. Teknik apa yang harus ia lakukan. Kata-kata apa yang harus diucapkan.

Justru karena itulah ia melupakan bahwa ia hadir untuk berbagi sesuatu: karakter dan pengalaman pribadinya yang unik. Semua orang yang hadir adalah pembicara sukses dan berpengalaman. Namun masing-masing memiliki karakteristik unik. Dan sebagaimana dirinya, mereka adalah orang-orang yang selalu berkeinginan belajar. Mereka ingin mendapatkan sesuatu dari sesi ini. Dan itu hanya bisa mereka dapatkan kalau Diane bertujuan untuk berbagi. Bukan untuk membuat kagum.

Kisah itu juga yang menyadarkan saya. Presentasi bukanlah tentang "saya". Tapi tentang "Anda". Terlalu banyak memikirkan "saya" akan membuat diri terjebak oleh rasa gugup. Tapi sebaliknya, begitu kita memikirkan bagaimana membuat "Anda" (atau hadirin) mengerti, yang muncul justru semangat.

Saya berhenti mengkhawatirkan kendala fisik saya. Dan memilih fokus ke apa kira-kira yang ingin diketahui para hadirin. Saya memutuskan untuk menunjukkan beberapa hal kepenulisan dengan cara yang segar. Daripada berlama-lama membahas teknik penulisan, saya menyajikan berbagai contoh penulis yang menerbitkan buku dari latar belakang seperti para hadirin. Berlanjut ke pengalaman dan interaksi dengan penerbit. Hingga kunci-kunci rahasia seperti uji premis naskah, surat pengantar yang menarik, atau kiat memilih rekan penerbit yang cocok. Berhubung acaranya menjelang buka puasa, saya pun memvariasikan tayangan bantu: kutipan, gambar, humor, dan klip video.

Alhamdulillah, sesi itu berjalan lancar. Sakitnya tidak terasa. Tayangan slide diiringi tawa dan sambutan hangat. Saat saya menayangkan slide yang memuat kutipan Burton Rascoe, "Istri seorang penulis tidak akan pernah mengerti bahwa ketika [sang suami] sedang bengong, ia sebenarnya sedang bekerja," dua orang laki-laki peserta langsung memfotonya dengan bersemangat. Jangan-jangan mau ditunjukkan ke istri di rumah.

Sesi tanya jawab pun sangat marak. Terutama karena pembicara lain juga berbagi macam-macam tips. Dan untunglah saya sudah menyiapkan dokumen teks penuh untuk dibagikan setelah acara. Karena para hadirin sampai mengantre untuk menyalin.

Pak Sobirin, seorang penulis artikel berkaitan lingkungan hidup, pun berkomentar, "Tadi presentasinya pake Flash, Mas?"

"Bukan, kok," geleng saya. "Itu PowerPoint."

"Kok bisa bersih, ya?" tanyanya lagi, heran.

Saya balik bertanya karena tidak mengerti apa yang dimaksud dengan bersih. Ternyata yang dimaksud Beliau adalah bebas dari bullet point. Minim teks. Animasi transisi antar objek halus. Dan penggunaan gambar maupun warna yang serasi. Intinya: hampir tidak terlihat bahwa yang saya gunakan sebenarnya adalah gabungan slide dan video yang ditayangkan secara berurutan.

"Alhamdulillah," ujar saya. "Memang itu tujuan saya." Karena berkat teringat kisah Diane, saya jadi kembali meluruskan niat. Presentasi adalah komunikasi ide. Dan penyampaian yang mengalir lancar akan mempermudah hadirin untuk menangkap pesan kita.

Tuesday, September 4, 2007

Necessity is the Mother of Action

Anda pernah ikut program outbound? Salah satu kegiatan yang biasanya masuk dalam program ini adalah flying fox. Intinya, kita akan menyeberangi jurang atau sungai dengan meluncuri tali dari ujung ke ujung. Tubuh kita diikat pada sebuah katrol beroda. Dan tangan kita memegang batang gantungan untuk menyeimbangkan tubuh saat meluncur. Titik pendaratan biasanya lebih rendah dari titik pemberangkatan. Jadi asalkan kita berani meloncat maju, gravitasi akan membantu kita sampai dalam beberapa detik saja.

Tetap saja, ini adalah pengalaman yang menegangkan bagi banyak orang. Ada saja yang akhirnya menolak atau batal meluncur.

Rasa takut itu wajar. Siapa yang bisa menjamin bahwa semua ini benar-benar aman? Bukankah risiko terjadi sesuatu di luar dugaan itu akan selalu ada? Dan juga, kenapa kita harus melakukan ini? Bukankah selama ini baik-baik saja?

Sekarang, mari kita beralih ribuan kilometer, ke Lembah Besar Nujiang. Di sini, anak-anak dari usia tujuh tahun berangkat ke sekolah dengan menggunakan "flying fox". Sebuah sungai lebar dan deras menghalangi jalan mereka. Dan satu-satunya cara adalah mengikat diri pada kerekan lantas meniti tali ke seberang. Gravitasi hanya menolong mereka hingga tengah sungai. Setelah itu, mereka harus menarik tubuh mereka sendiri sampai ujung. Satu-satunya pengaman hanyalah sabuk yang diikatkan di pinggang.

Ini bukan contoh satu-satunya. Anak-anak di salah satu desa terpencil Kolombia juga melakukan hal serupa. Dan mereka melakukannya pada ketinggian 365 meter. Seorang perempuan bernama Daisy bahkan meniti tali sambil menggendong keranjang berisi anaknya yang berusia tujuh tahun. Sekitar enam puluh orang menggunakan metoda transportasi ini tiap hari. Dan untungnya, tidak pernah terjadi kecelakaan berat.

Apa yang membedakan kita dengan mereka? Tuntutan dan kebutuhan. Ketika ada berbagai jalur lain yang tampak lebih aman, kita cenderung memilih itu. Ini karakteristik dasar manusia. Mereka berani dan membiasakan diri meniti jurang atau sungai karena memang tak ada alternatif lain. Saya yakin bahwa pada dasarnya tiap manusia pun memiliki potensi semangat juang dan adaptasi yang sama. Kalau kita terlahir di situ, kita pun akan seperti mereka. Memacu diri untuk maju, walau harus mempertaruhkan nyawa.

Karena itu, pada situasi tertentu, cobalah sudutkan diri kita sendiri. Misalnya, dalam berbicara. Kita tahu bahwa kemampuan berbicara di depan umum itu baik. Dan semakin banyak praktik semakin baik. Namun, kita enggan memulai. Muncullah alasan, "Kan ada yang lebih jago." Atau, "Kesempatannya juga nggak ada tuh. Kalau ada yang tiba-tiba nelepon minta sih boleh-boleh aja."

Salah satu materi panggung Jerry Seinfeld yang paling terkenal adalah saat ia membahas survei nasional tentang apa yang paling ditakuti warga negara Amerika. Peringkat nomor dua adalah kematian. Dan yang pertama adalah bicara di depan umum. "Kalau begitu," simpulnya, "saat menghadiri pemakaman, kita lebih suka berada di dalam peti mati daripada membawakan eulogy (pidato tribut bagi yang meninggal)."

Pada saat seperti ini, berhentilah membuat alasan. Sudutkanlah diri kita sendiri. Katakan pada rekan kerja bahwa presentasi berikut kita yang akan membawakannya. Saat ada tawaran berbicara di depan umum, langsunglah bilang, "Ya!" sebelum otak kita menciptakan alasan. Jangan tunggu telepon. Kitalah yang menelepon duluan menawarkan suatu materi. Saat diterima, segera akhiri pembicaraan sebelum kita mulai ragu dan bertanya, "Lho, kok mau sih? Yakin nih?"

Dan dengan begitu, kita pun tersudutkan. Tanggal sudah ada. Topik sudah ditentukan. Hadirin akan datang dan menunggu kedatangan Anda. Jurang itu sudah di depan mata. Dan kita perlu menyeberanginya.

Susunlah materi kita seakan-akan nyawa kita taruhannya. Siapkan tali, pengaman, dan cek ulang semua. Pada hari-H, tariklah napas panjang. Pandangi langsung jurang tersebut. Dan meluncurlah.

Saturday, September 1, 2007

Cara Paling Ampuh Membunuh Minat Hadirin

Bukalah presentasi dengan slide penuh teks... dan bacalah kata per kata.

Dalam buku Laugh and Learn, Doni Tamblyn menyampaikan bahwa begitu mulai berbicara, kita hanya punya sepuluh detik untuk menangkap perhatian hadirin selama lima menit ke depan. Walaupun angka ini bisa berbeda-beda di berbagai budaya, pesannya tetap universal: kita perlu memiliki pembuka yang menggebrak.

Dalam putaran final Imagine Cup 2007, Tim Aksara (wakil Indonesia) memproduksi video khusus untuk menggugah emosi hadirin dari awal. Namun, pembuka yang menarik perhatian sebenarnya tidak harus serumit itu. Ini sekadar satu cara.

Wakil Austria, misalnya, mempraktikkan pembuka presentasi yang sederhana. Tapi menarik. Produk yang mereka presentasikan adalah flipchart elektronis. Bentuknya seperti flipchart biasa, namun sebenarnya layar proyeksi komputer. Dan kita bisa menulisi permukaannya dengan pena khusus.

Para tim sebelum Austria membuka dengan pola serupa: perkenalan diri, lantas perkenalan produk. Dan ini mulai menjadi pola yang membosankan. Perhatian penonton tampak ke mana-mana. Ada yang mengobrol atau mengambil foto. Dalam Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, saya mengingatkan akan bahayanya dosa besar ketiga: membosankan. Ini sama fatalnya dengan menyulitkan pembacaan.

Dan Tim Austria tampaknya sadar akan hal itu. Sayangnya, mereka tidak menyiapkan materi khusus untuk pembuka. Mereka tidak menyiapkan video pembuka khusus, misalnya, seperti yang dilakukan Tim Aksara. Hanya berbekalkan produk dan rekaman mereka saat menggunakan produk. Bagaimana mereka bisa mengawali dengan gebrakan?

Tanpa berlama-lama, juru bicara mereka melangkah ke arah flipchart dan menuliskan besar-besar, "AUSTRALIA". Ia kemudian menghadap para juri. "Ini," ujarnya, "adalah kebiasaan mayoritas orang mengeja nama negara kami."

Hadirin tergelak.

Sang juru bicara lantas menghapus huruf "A" dan "L" secara elektronis. "Seharusnya begini. Di negara kami tidak ada kangguru!" protesnya.

Gelak tawa pun menyebar.

Dalam beberapa detik pertama, ia berhasil memikat hadirin, sekaligus mengenalkan kelompok dan produk secara sekilas. Berikutnya, saat ia menjelaskan lebih detail, perhatian penonton pun sudah terarah sepenuhnya pada presentasi ini.

Banyak cara sederhana yang bisa kita lakukan untuk memikat hadirin dari awal.

Seorang teman[1] yang menjadi guru bimbel pernah memasuki kelas yang gaduh. Ia dengan tenang mengambil spidol dan menggambar jalinan jaring di papan putih. Terusik rasa ingin tahu, kegaduhan pun mereda. Hingga akhirnya hening. Hanya terdengar suara goresan spidol. Teman saya lantas berbalik dan bertanya, "Ada yang tahu apa yang baru saja dijerat oleh jaring ini?"

Sejumlah kepala menggeleng.

"Perhatian kalian," ujar teman saya sambil tersenyum.

Temukanlah cara-cara untuk memikat hadirin kita dari awal. Hasil penerapannya bisa jadi akan mengejutkan kita sendiri.

_____________________

[1]: Yang entah kenapa tidak mau saya sebut namanya. Mungkin karena mengira saya akan menulis kisah-kisah memalukan seperti di buku Bertanya atau Mati!

Friday, August 31, 2007

Sudah Terbit: Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint

"...menggunakan PowerPoint itu seperti menaruh AK-47 yang terkokang di atas meja: kita bisa melakukan hal-hal yang sangat buruk dengan [benda] ini."
--Peter Norvig, Direktur Riset Google

Ruang rapat yang gelap. Slide yang penuh sesak oleh bullet point. Huruf-huruf yang terlalu kecil. Atau terlalu gelap. Dengan latar belakang yang terlalu ramai. Teks dan gambar yang berputar-putar. Musik yang mengganggu. Atau bahkan mencuci otak. Presentasi sering kali menjadi peperangan antara penyaji yang tidak kompeten melawan hadirin yang ingin kabur. Korban yang gugur dalam peperangan ini akan bergabung dengan para penyaji untuk melakukan kesalahan yang sama. Dengan kata lain, semakin lama kita berdiam diri terhadap berbagai presentasi yang membosankan, para pelakunya akan semakin bertambah.


Cukup sudah! Manfaatkanlah panduan dan tips dalam Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint (7DB PPT) melawan balik! Selain itu, buku ini juga berguna bagi mereka yang belum sadar untuk bahwa presentasi yang mereka sajikan justru menyulitkan orang lain untuk mengerti. Atau bagi para pembicara yang ingin mengetahui lebih dalam tentang penyusunan materi presentasi yang efektif.

"...mulai dari bagaimana menghilangkan boredom alias kebosanan, mengukur waktu yang tepat sehingga presentasi bisa berjalan dengan efisien tanpa membuang-buang waktu, penguasaan 'panggung', sampai dengan menyajikan presentasi yang membangkitkan rasa ingin tahu audiens... Tidak salah lagi, buku ini adalah satu-satunya yang akan menemani saya ketika mengalami kebuntuan dalam merancang dan merangkai presentasi PowerPoint."
--Jennie S. Bev, pembicara dan entrepreneur

7DB PPT bukanlah sekadar buku how-to. Ia mengajak pembacanya untuk membuka pikiran dan melihat kembali bagaimana orang-orang sering menyalahgunakan PowerPoint dalam praktik presentasi. Pengguna PowerPoint, Impress, Keynote, maupun software penyaji presentasi lainnya akan dapat menggunakan panduan praktis serta menghibur dalam buku ini untuk menyusun serta menyajikan presentasi secara kuat dan efektif.

"Buku ini bukan hanya tentang PowerPoint tapi lebih ke cara presentasi yang efektif dan menarik. Jika Anda seorang pembicara, dosen, manager, calon pembicara, calon dosen, maupun calon manager, buku ini sangat layak Anda baca."
--Samuel Prakoso, mantan pelaku 7 dosa besar


Dapatkan segera di toko-toko buku kesayangan Anda.


Detail Buku
__________________

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Perwajahan Muka: Sofnir Ali
Perwajahan Isi: Ryan
Ukuran: 15 x 23 cm
Halaman: 127
Harga: Rp30.000

Thursday, August 30, 2007

Hati-hati: Menyabotase Presentasi Sendiri

Saya baru mengikuti seminar Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Bandung yang membahas situs portal bisnis untuk perdagangan dan investasi. Presentasinya bisa saya simpulkan dalam dua kata: sakit kepala.

Pembicara seminar ini adalah dua orang berkewarganegaraan Jerman. Pembicara pertama mengaku sebagai pakar situs web dan yang kedua adalah wakil dari Kadin Hanover. Keduanya sukses menyabotase presentasi mereka sendiri.

Mari mulai dari penataan ruang yang mengundang bencana. Para pembicara duduk di panggung tengah, terhalangi meja. Lantas ada dua layar sorot. Satu di pojok kiri (dari arah hadirin) dan satu lagi di pojok kanan ruangan. Hebatnya, kedua layar ini menampilkan dua hal berbeda. Layar kanan menampilkan slide PowerPoint. Layar kiri menunjukkan situs web portal bisnis Jerman.

Pembicara pertama membaca slide, dan kami menoleh ke kanan. Pembicara ganti menunjuk tampilan situs, dan kami menoleh ke kiri. Kembali lagi ke slide. Ke situs. Begitu terus. Kalau saya ingin menolehkan kepala ke kiri dan kanan secepat ini, saya mendingan ikut aerobik.

Ingat kembali bahwa pembicara berdiri di balik meja. Di atas panggung. Ini juga memberi jarak dengan hadirin. Lantas dikombinasikan dengan slide yang berisi jejeran bullet point, hasilnya cukup ampuh: hadirin kehilangan minat. Awalnya, hadirin mulai malas menoleh. Lantas sebagian mulai sibuk sendiri atau mengobrol. Saya sendiri setengah mati menahan diri untuk tidak melantunkan reff satu lagu Project Pop, "Leng geleng geleng geleng geleng..." Beberapa orang ada yang pamit ke belakang. Tapi tidak kembali-kembali. Bisa jadi diculik oleh Gerakan Pembebas Korban PowerPoint Nasional.

Dalam buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, saya menuliskan bahayanya dosa besar keempat: menyulitkan pembacaan. Sewaktu-waktu, presentasi kita bisa tersabotase. Hadirin mengalami kesulitan menangkap apa yang ingin kita sampaikan. Ketika ini terus-menerus terjadi, mereka pun akan memutuskan untuk tidak lagi peduli.

Dan jangan salah: yang menyabotase presentasi kita, biasanya adalah kita sendiri.

Peristiwa di atas bisa dihindarkan dengan cara mudah: proaktif. Para pembicara dapat datang lebih awal dan ikut menata ruangan bersama panitia. Khusus untuk kasus ini, kita perlu memastikan bahwa tatapan hadirin dapat berpindah antara fokus perhatian dengan nyaman, tanpa menggerakkan kepala secara berlebih. Dan pilihan fokus perhatian ini sebaiknya hanya dua: diri kita dan layar. Kalaupun menggunakan dua layar, sebaiknya isinya sama. Layar kedua ini berfungsi sebagai alternatif bagi hadirin yang terlalu jauh dari layar pertama.

Dan yang tak kalah penting: singkirkan jauh-jauh semua penghalang antara kita dan hadirin.

Saat Brian Conley (pendiri aliveinbaghdad.org) diminta berbicara di depan podium, ia berbisik kepada temannya, "Kira-kira mereka bakal marah nggak kalau aku menendang podium itu hingga terguling?"

Berlindung di balik meja atau podium mungkin terasa lebih nyaman. Namun cobalah pikir lagi, apakah pernah ada pembicara yang berkata, "Wah, sambutannya meriah sekali! Untunglah aku membawa meja ini dari rumah." Tidak. Karena sebaliknyalah yang terjadi. Hadirin lebih menyambut para pembicara yang berani menampilkan diri secara utuh. Karena itu, hilangkan semua yang menghambat kita untuk menjalin kontak emosi dengan hadirin.

Sang pembicara pertama ini pun akhirnya sadar. Ia memutuskan untuk melangkah turun dari panggung, dan berdiri di dekat salah satu layar. Kini, kami dapat menatap kedua fokus perhatian dengan nyaman. Sang pembicara pun mulai berinteraksi, berbicara langsung dengan hadirin. Sesekali menanya bisnis apa yang digeluti seorang peserta. Atau apa yang mereka minati. Ia tidak lagi sekadar membaca slide.

Berkat itu, presentasi kembali hidup. Walau untuk sementara. Karena muncullah giliran pembicara berikut. Dan layar menayangkan slide baru yang berisi... lebih banyak lagi bullet point.

Saya langsung mencatat dalam hati, agar pulangnya nanti beli obat pusing.

Wednesday, August 15, 2007

Seni Tanya Jawab: Ubah Pola Pikir

Dalam final Imagine Cup 2007, tim Thailand menunjukkan cara yang unik dalam sesi tanya jawab. Setelah juri melemparkan pertanyaan, sang juru bicara akan mengulang pertanyaan tersebut. "Benarkah ini yang ditanyakan?" tanyanya kemudian.

Setelah juri mengiyakan, ia memberi isyarat kepada timnya. Dan apakah yang mereka lakukan?

Mereka berdiskusi internal dulu. Ya, di tengah sorotan ratusan hadirin, mereka membuat lingkaran tertutup dan mengobrol, seperti yang dilakukan Kwik, Kwek, dan Kwak (keponakan Donal Bebek) saat menyusun strategi. Seisi ruangan sampai riuh oleh tawa karena kelakuan tim Thailand ini.

Namun mereka sendiri tidak terpengaruh. Setelah mencapai keputusan, lingkaran itu pun bubar. Lantas sang juru bicara akan menyampaikan jawaban mereka dengan tegas. Cara ini terus mereka lakukan untuk menjawab setiap pertanyaan. Dan jawaban mereka selalu memuaskan, diiringi sikap yang percaya diri.

Cara ini mungkin selintas tampak konyol. Dan jelas tidak akan berlaku pada setiap kesempatan presentasi. Namun sebenarnya, mereka telah menunjukkan kepiawaian dalam seni tanya jawab. Ini terlihat dari beberapa tindakan:

    a) Mengulangi pertanyaan
    Tindakan sederhana ini memiliki banyak manfaat. Pertama, memastikan kita tidak salah tangkap. Kemampuan berbahasa Inggris tim Thailand tidaklah bagus. Namun, ini tidak membuat mereka malu atau gugup. Mereka malah meminta izin untuk melakukan diskusi lingkaran ini agar tidak salah tangkap. Bagi mereka, yang penting bisa menangkap pertanyaan dengan benar. Dan memberikan jawaban yang sesuai, tidak memutar-mutar.

    Kedua, membuat penanya merasa didengar. Ketiga, memastikan bahwa hadirin yang lain juga mendengarkan. Keempat, memberikan kita kesempatan untuk berpikir. Dan kelima, kita bisa membingkai ulang pertanyaan jika diperlukan.


    b) Membingkai ulang pertanyaan
    Fungsi membingkai ulang pertanyaan adalah mengubah arah (dan pola pikir) sesi tanya jawab. Umumnya, orang menganggap sesi tanya jawab sebagai ajang serang dan tangkis. Penanya menyerang, dan penjawab menangkis.

    Padahal ini adalah pola pikir yang salah.


    Kalau berpikir seperti itu, kita terdorong untuk mencari jawaban yang terdengar bagus. Bahasa ilmiahnya: ngeles. Padahal yang dibutuhkan adalah jawaban yang membantu hadirin untuk mengerti. Inti presentasi adalah penyampaian ide. Hadirin datang untuk memahami ide tersebut. Pembicara pun ingin hadirin mengerti. Berarti: pembicara dan hadirin memiliki tujuan yang sama.

    "Are we there yet?"


    Karena itu, pola pikir serang-tangkis keliru. Hadirin bukanlah musuh. Melainkan rekan perjalanan dengan tujuan yang sama. Tugas pembicara adalah menjelaskan ke mana arah presentasi ini dan sudah sejauh mana kita melangkah.

    Jika ada pertanyaan yang terkesan menyerang, bingkailah ulang menjadi konteks pola pikir bekerja sama. Apa manfaat dari pertanyaan itu. Lantas berikanlah jawaban yang mencerahkan.


    c) Menyampaikannya dengan tegas
    Jangan takut salah. Kalaupun fakta yang kita ungkapkan ternyata salah bukankah itu baik, karena sekarang jadi benar? Kalaupun pendapat kita ternyata berbeda dengan orang lain, bukankah itu wajar? Hingga lingkup tertentu, pendapat kita bahkan bisa berubah setelah saling berbagi dengan hadirin.

Ubahlah pola pikir kita tentang hadirin. Otomatis, kita akan menangkap esensi sesi tanya-jawab: membantu orang lain agar lebih memahami maksud kita.

Tuesday, August 14, 2007

Asal Mula Buku Tujuh Dosa Besar PowerPoint

Saya berhutang budi kepada seorang konsultan Teknologi Informasi (TI) dari Singapura yang namanya tidak akan saya sebut di sini (terutama karena saya sendiri tidak tahu namanya). Pada satu pagi hari yang cerah, ia mempresentasikan produk perusahaannya di hadapan sejumlah klien prospektif (di luar saya, yang hadir sekadar untuk menghabiskan snack).

Dalam ruangan yang terang benderang itu, ia menyorotkan materi PowerPoint-nya, yang tertulis dalam huruf berwarna putih di atas latar belakang hitam. Saat kami semua memicingkan mata, ia mengira kami begitu bersemangat dalam menyimak. Padahal, kami semua sedang berharap memiliki penglihatan super.

Dalam bahasa Inggris yang patah-patah, ia menjelaskan berbagai fitur produknya dengan semangat tinggi. Saking bersemangatnya, ia mengumbar banyak jargon dan singkatan, seperti XVMN.25, DHG, AB-Awareness.[1] Kemudian, di tengah-tengah presentasi, ia berkata, "Dan ini adalah contoh pengalaman perusahaan kami." Ia mengklik mouse-nya, dan di bagian atas layar muncullah judul yang masih dapat kami baca dengan jelas, "Fort Polio."

Lima belas menit setelah itu, saya berkeputusan untuk membuat buku mengenai kesalahpenggunaan PowerPoint. Awalnya saya masih belum yakin. Apakah yang saya tulis ini berlaku universal? Atau hanya bagi segelintir orang? Jadi saya coba masukkan bahan tersebut dalam berbagai sesi presentasi. Tulisan ini lantas menjadi bagian khusus dalam lokakarya Teknik Presentasi saya, dengan judul, "Tujuh Dosa Besar PowerPoint".

Selama tiga tahun lebih, tulisan ini terus semakin matang berkat berbagai masukan dan praktik. Hingga akhirnya Gramedia Pustaka Utama sepakat untuk bekerja sama menerbitkannya. Naskahnya sendiri sudah naik cetak tanggal 7 Agustus lalu. Dan kira-kira butuh waktu tiga atau empat minggu hingga selesai dan didistribusikan ke toko-toko buku.

Sampul Depan Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint
Sampul depan buku


Yang penting untuk kita sadari, pembicara tersebut bukanlah contoh khusus. Sebagian besar presentasi yang saya hadiri, baik berlatar belakang akademis, pemasaran, teknologi, penyuluhan, bahkan pelatihan, melakukan berbagai kesalahan yang sama. Presentasi yang seharusnya menjadi forum pertukaran ide akhirnya malah menjadi medan perang, antara penyaji yang tidak kompeten melawan hadirin yang ingin kabur.

Dalam bidang apa pun, kemungkinan besar Anda telah mengalami (atau menderita) hal yang sama. Semoga buku ini bisa bermanfaat. Minimal untuk melawan balik tradisi penyalahgunaan. Karena presentasi tidak harus membosankan. Apa pun software alat bantu presentasi yang kita gunakan (PowerPoint, Impress, Keynote, Flash, dll), sampaikanlah pesan kita dengan menarik.

__________________

[1]: Ini hanya contoh istilah asal yang saya karang sendiri. Tapi dari sudut pandang orang yang tidak mengerti dan tidak mendapatkan penjelasan, ya sama saja.

Wednesday, August 8, 2007

Bersenang-senang dengan Grafik

Dalam berpresentasi, saya sempat menganggap grafik seperti Uzi: efektif dalam menyampaikan pesan. Namun, kesalahan sedikit saja bisa membuat banjir darah. Untunglah, tahun lalu saya terdampar di blog Jessica Hagy. Semenjak itu, saya memandang grafik dengan perspektif berbeda. Grafik menjadi sahabat baru dalam menyampaikan pesan apa pun. Kadang sama sekali tidak ada hubungannya dengan angka.

Pada pelatihan menulis untuk bagian humas suatu departemen pemerintah, saya memulai dengan menayangkan beberapa contoh tulisan mereka yang mengangkat retorika dan janji menteri. Lantas saya melanjutkan ke slide berikut.



Setelah tawa mereda, saya baru kembali mengingatkan mereka akan hal yang sebenarnya mereka sudah tahu: fungsi humas juga termasuk mengetahui citra organisasi di masyarakat. Akan ada jarak antara citra yang ada dengan yang diinginkan. Tantangannya adalah memperkecil jarak tersebut. Selanjutnya mereka pun bisa menyimpulkan sendiri bahwa menulis janji dan retorika justru malah memperlebar jarak tersebut.

Dalam sesi berpikir kreatif, saya menggunakan grafik untuk mengajak hadirin beranalogi. Satu contohnya adalah berikut.


Tanpa grafik, saya bisa menggunakan contoh di atas dalam bentuk tebak-tebak, "Apa persamaan antara syukuran pernikahan dan kampanye partai? Dalam keduanya ada pengucapan janji, ada makan gratis, dan sama-sama bikin macet."

Tapi dengan grafik, saya bisa menyampaikannya dengan lebih mengena. Karena pada dasarnya grafik adalah alat bantu visual untuk menyampaikan pesan. Tidak harus mewakili angka atau statistik yang rumit. Saya saja yang sempat melupakan itu. Dan ironisnya, saya kembali sadar saat melihat blog Jessica yang justru menggunakan grafik untuk bahan tertawaan (dan renungan).

Jika Anda juga termasuk orang-orang yang memusuhi grafik karena terlalu sering di(salah)gunakan dalam presentasi, cobalah kunjungi blog Jessica Hagy. Semoga itu kembali mengakrabkan Anda dengan alat bantu ini.

Friday, August 3, 2007

Dua Alasan Penyebab Presentasi yang Membingungkan

Tim Aksara adalah empat anak muda dari Bandung yang akan mewakili Indonesia di kompetisi Microsoft Imagine Cup Korea 2007. Kompetisi internasional yang disponsori Microsoft ini bertujuan mencari software buatan kalangan akademik yang berprospek bisnis dan berdampak besar pada masyarakat. (Plus menggunakan teknologi Microsoft, tentunya.)

Kebetulan, dua anggota Tim Aksara, Octa dan Budi adalah teman kerja (dan futsal), sehingga saya sempat diajak berdiskusi mengenai presentasi mereka. Software yang mereka usung bernama ABC, merupakan alat bantu pembelajaran baca-tulis.

Octa menyampaikan satu hal yang mengganggu mereka. Terakhir kali mereka menggelar presentasi di hadapan para mahasiswa ITB untuk meminta masukan. Sejumlah keluhan muncul, bahwa presentasi mereka sulit dimengerti. Padahal seluruh hadirin berlatar belakang teknik. Kenapa bisa begitu? Dan ini gawat, mengingat sebagian juri nanti berlatar belakang bisnis. Dan tentunya mereka ingin penyajian yang sederhana dan mudah dipahami.

Setelah Octa dan Budi menunjukkan presentasi yang mereka susun, baru saya paham kenapa. Elemen-elemen presentasi mereka sudah bagus dan mendetail. Informasi disusun secara menarik. Mereka bahkan tidak menggunakan slideware. Mereka menayangkan grafik dan teks dalam bentuk Flash. Diselingi video dan demo program. Dengan kata lain, semua ini sudah tampak profesional.

Lantas kenapa orang tidak mengerti? Bukannya ini jauh lebih bagus daripada slide yang sekadar berisi bullet?

Alasan pertama: informasi yang mereka sampaikan saling bertabrakan.

Anggaplah satu tampilan adalah satu pesan. Saat menampilkan persentase populasi buta huruf di seluruh dunia, misalnya, apa yang ingin mereka sampaikan? Ternyata pesan bahwa buta aksara bukanlah sekadar masalah dunia ketiga, melainkan juga masalah negara maju. Sayangnya, yang muncul di layar adalah persentase. Jelas persentase negara maju terlihat kecil.

Saya menyarankan agar mengganti persentase dengan jumlah. Dan mencari data yang lebih menohok. Literacy Volunteers of America divisi Washington, sebagai contoh, menulis bahwa masih ada 40 juta orang dewasa yang belum fasih membaca (functional illiterate). Walau tidak buta aksara total, mereka masih kesulitan membaca berbagai teks berkaitan pekerjaan. Bahkan ada yang lulusan setingkat SMP dan tidak bisa membaca ijazah mereka. Jumlah ini lebih mencengangkan daripada persentase buta aksara total yang di bawah 5%.

Grafik merupakan salah satu kunci masalah dalam presentasi. Sering kali saya melihat seseorang menampilkan slide berisi grafik yang tidak jelas tentang apa. Baru paham setelah ia menjelaskan. Lebih parah lagi, penjelasan sejumlah pembicara malah berbeda dengan yang grafik yang ia tunjukkan. Grafik seperti ini sudah gagal memenuhi tugasnya. Kalau grafik ini adalah artileri, ia baru saja meledakkan gudang mesiu benteng sendiri.

Munculkanlah grafik sehingga orang langsung mengerti maknanya. Dan pilihlah bentuk yang sesuai. Jika ingin menunjukkan persentase, misalnya, gunakanlah bentuk kue. Gunakan batang jika ingin membandingkan jumlah. Jika terbalik malah membingungkan.

Bagaimana dengan video? Satu video mungkin memiliki beberapa situasi atau adegan. Namun, inti pesannya tetap satu. Terlalu banyak, dan hadirin pun bingung. Jika ada lebih dari satu inti pesan dalam video, potong-potonglah. Sampaikan terpisah. Pastikan bahwa hadirin memahami pesan pertama, sebelum bergerak ke pesan selanjutnya.

Alasan kedua: urutan informasi yang salah.

Bayangkanlah kita bertemu seorang teman lama.

"Saya baik-baik saja," sapanya. Saat kita melongo, dia melanjutkan, "Tapi sekarang sudah sembuh, kok."

"Euh, apa kabar?" tanya kita ragu-ragu.

"Minggu lalu saya sempat gejala DB," jawabnya. "Halo, apa kabar?"

Oh, baru kita ngeh. Dia baik-baik saja. Minggu lalu sempat kena gejala demam berdarah, tapi sekarang sudah sembuh.[1] Ini masih bisa kita mengerti karena dialognya sederhana. Sementara dalam presentasi, berbagai urutan informasi yang terbalik akan membuat hadirin kehilangan arah.

Sebagian besar masalah Tim Aksara pun dapat mereka atasi dengan sekadar mengubah urutan presentasi. Atau malah menghilangkan bagian presentasi. Satu klip animasi 3D cantik, misalnya, mereka buang karena terlalu panjang. Video menyentuh yang tadinya mereka taruh di urutan kedua jadinya mereka pasang di awal. Dengan begitu, video ini berhasil menarik perhatian hadirin dalam sepuluh detik pertama. Musik latar belakang yang sendu serta narasi yang kuat menyeret hadirin ke suasana hati yang pas.

Video berakhir dengan kutipan Kathleen Blanco yang menyimpulkan inti pesan, "Think about it: Every educated person is not rich, but almost every education person has a way out of poverty."

Dari sini, mereka bisa melanjutkan ke informasi literasi di Indonesia dan bagaimana ABC menjadi solusi yang lebih baik. Seterusnya pun lancar.

Presentasi pada dasarnya adalah seni merangkai pesan yang sinergis dan konsisten. Jika presentasi kita membingungkan orang, cobalah pisah masing-masing pesan dan jabarkan. Siapa tahu pesan kita tabrakan atau salah urutan.

Tim Aksara sendiri akan bersaing menuju posisi puncak dengan 55 tim negara lain mulai Senin ini (6 Agustus 2007). Sukses dan selamat berjuang bagi Tim Aksara!

___________________

[1]: Walaupun--seperti komentar Agung--masih perlu berkonsultasi ke psikolog.