Tuesday, July 15, 2008

Berpikir Seperti Pembuat Iklan: Apa Maksudnya?

Dalam mengatasi dosa besar ketiga: membosankan, saya menyarankan untuk berpikir seperti pembuat iklan.

Bukan. Bukan dalam mengulang pesan sampai tiga kali. Itu justru akan menyebalkan. Itu justru akan menyebalkan. Itu justru akan menyebalkan. Seperti mengganti gangguan maag dengan sakit kepala.

Kalau gitu apa? Kreativitas dalam batasan yang sempit.

Dalam Cutting Edge Advertising, Jim Aitchinson menulis bahwa iklan suatu produk, misalnya, hanya bisa menyampaikan dua macam pesan:
a) Apa manfaatnya jika kita menggunakan produk itu, atau
b) Apa yang terjadi jika kita tidak menggunakan produk tersebut.

Dan kita hanya bisa menyampaikannya dalam ruang yang terbatas pula. Satu halaman cetak, lima belas hingga tiga puluh detik tayangan TV, atau batasan media lainnya. Dalam batasan itu, pesan harus sampai pada hadirin.

Presentasi juga seperti itu. Kalau kita memilih alat bantu, sebaiknya yang memang membantu kita menyampaikan pesan dalam batasan kita. Beranilah untuk merangkul kreativitas kita dalam menyampaikan pesan. Apalagi karena kita memiliki satu keuntungan: komunikasi dua arah. Kita bisa memastikan bahwa pesan kita tidak salah tertangkap.

Seberapa jauh kita bisa berkreasi? Asalkan tetap relevan dengan budaya hadirin kita. Berikut adalah contoh perbandingan iklan.

Produknya adalah bohlam. Pesan yang ingin disampaikan adalah kekuatan terangnya bohlam tersebut. Budaya hadirin meliputi kisah-kisah supernatural. Bagaimana cara Anda menyampaikan pesan ini?

Contoh pertama adalah Osram, yang dibuat agensi lokal. Bisa jadi Anda sudah melihat iklan TV tersebut. Seorang wanita di keremangan malam didekati Drakula (dengan penampilan stereotipikal kuno: potongan rambut Deddy Corbuzier, eye shadow, wajah putih, busana berkerah tinggi, dan taring). Namun sang wanita menyalakan lampu dan Drakula pun berteriak panik, "O... SRAAAAM!"

Buatan Indonesia, namun menggunakan tokoh supernatural budaya asing. Kuno, pula. Saat melihatnya, saya hanya mengernyit. Tidak terhibur. Butuh waktu beberapa kali menonton pula untuk menyadari bahwa sang Drakula menggunakan permainan kata nama produknya.

Saat menyadari permainan kata itu, saya malah kesal. Karena tidak merasa itu prestasi. Stevie Ray dalam Medium-Sized Book of Comedy menulis bahwa hadirin akan merasa senang saat mereka berhasil menangkap suatu humor cerdas. Itu membuat mereka merasa cerdas pula. Namun, saat humor tersebut tidak cerdas, hadirin justru merasa sebal. Karena merasa buang-buang pikiran untuk hal yang tidak membanggakan.

Satu agensi periklanan Thailand mengeksplorasi tema yang serupa untuk bohlam Sylvania. Hasilnya? Bisa dilihat di sini.


Kepala keluarga yang sedang piknik mengusir salah satu hantu yang tidak lagi terasa menakutkan dalam keadaan terang benderang.


Pendekatan yang serupa. Namun, mereka lebih berani untuk eksplorasi nilai lokal. Dan itulah yang membuat iklan ini juga menghibur bahkan bagi penonton yang bukan warga negara Thailand. Kita bisa melihat bahwa setan-setan Thailand ini tinggal diganti dengan figur mistis Indonesia seperti pocong, sundelbolong, kuntilanak--otomatis menjadi iklan yang bernuansa Indonesia.

"Tapi itu kan video, Man," protes Anda. "Alat bantu presentasi kita bisa saja hanya slide."

Ya, tinggal alihkan kreativitas kita pada kombinasi gambar dan kata. Inti pesan dua iklan di atas sama: terangnya lampu dapat membuat malam jadi tidak menakutkan. Berikut adalah satu iklan cetak OSRAM (untuk pembaca berbahasa Inggris) yang menyampaikannya secara visual.


Fight the night.


Dan tidak perlu sekeren itu. Gambar di atas jelas menggunakan pengolah citra. Sementara kita cukup menggunakan foto yang mewakili pesan kita. Saya ambil kembali contoh dari tulisan tentang Seni Tanya Jawab.




Eksplorasilah sisi kreativitas dan sesuaikan dengan budaya hadirin kita.

No comments: