Wednesday, November 21, 2007

Yang Kita Lakukan, Bukan Yang Kita Katakan

Dalam buku It's Not What You Say, It's What You Do, Laurence Haughton menyampaikan bahwa kita bisa menyabotase pesan melalui tindakan yang bertolak belakang. Sebaliknya, kita juga bisa mengomunikasikan pesan dengan efektif melalui tindakan; tanpa perlu banyak omong.

Sebagai contoh, dalam lokakarya teknik presentasi, saya menyampaikan pentingnya menatap mata hadirin dan "menguasai panggung" (alias bergerak dalam ruangan secara efektif--menjangkau hadirin). Namun, bayangkan jika saya menyampaikannya dengan meringkuk di balik komputer. Atau terus-menerus menatap layar proyektor. Pesan yang sampai pada hadirin adalah, "Kalian lakukanlah itu, aku sih malas."

Jelas, itu tidak akan menggugah siapa pun.

Contoh yang lebih global adalah Dirjen Pajak. Akhir-akhir ini, mereka semakin gencar berkampanye, "Milikilah NPWP!" Saking bersemangatnya, mereka sampai mencuri catchphrase Naga Bonar (Jadi) 2: "Apa kata dunia?"

Tapi, ternyata, Ditjen Pajak Darmin Nasution sendiri tidak memiliki NPWP.

Bandingkan dengan John Latham, seorang kepala sekolah negeri di Inggris. Seperti diungkapkan di buku Why Should Anyone Be Led By You? karya Rob Goffee dan Gareth Jones, John mulai menjabat posisinya dengan hemat berkata-kata. Ia hanya mendengarkan para rekan kerjanya. Lantas bertindak. Alih-alih berkata, "Mari buat perubahan, mulai dari hal yang terkecil!" ia langsung mendatangi tiap kelas, ikut mengganti jam yang rusak. Atau penghapus yang sudah buluk. Ia bahkan memunguti sampah yang berserakan di halaman. Lambat laun, dari keadaan yang terpuruk, sekolah itu akhirnya menjadi sekolah percontohan nasional.

Sering kali, kata-kata menjadi tidak efektif. Apalagi saat diobral murah. Kala itu, lakukanlah. Jangan katakan.

_________________

Terima kasih pada Yudi.

Monday, November 19, 2007

Kejutan dari Paman

Salah satu penulis favorit saya, Paman Tyo, membahas buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint dalam judul yang kompletnya sih Buku yang Menghina Pembaca (Tapi Layak Beli).

PANDUAN PRAKTIS DAN LUCU UNTUK PRESENTASI.

Saya betul-betul terhina oleh buku ini. Sudah keluar duit, eh setelah membaca saya merasa ditelanjangi. Sialnya saya tak dapat menyangkal atau berdalih karena yang dia nyatakan memang benar.

Penulis buku ini, seorang blogger, memang semaunya sendiri. Untunglah dia cukup menelanjangi tanpa mempermalukan. Bahwa si pembaca akan malu sendiri, itu ibarat beli cermin di depan gedung parlemen lantas setibanya di kamar dicoba untuk memeriksa panu. Si penjual cermin tak bersalah. Dosanya tak sebesar pemasang kamera pengintip di kamar kecil dan kamar ganti.

Lebih sial lagi, si penulis menelanjangi pembacanya secara cengengesan. Kesalahan orang lain** dia anggap menggelikan. Saya ingin tahu apa saja asupan harian dia sehingga bisa menulis lucu, dan jadilah buku panduan presentasi dengan PowerPoint...


Selengkapnya di sini.

Terima kasih atas apresiasinya, Paman. Ternyata satu hikmah menulis buku adalah: bisa kenalan dan ngobrol dengan idola, haha. Karena selama ini mampir di blog beliau, baru sekarang akhirnya bisa ngobrol (sok) akrab.

Salam Sayang dari Teman (Maya)

Seorang bijak (yang sudah lama meninggal--sehingga bisa membuat kita mempertanyakan seberapa bijak sebenarnya dia) pernah berkata bahwa jika membutuhkan masukan yang jujur, tanyalah teman. Tentunya, saat itu belum ada Friendster--media yang membuktikan sebaliknya.

Tapi, setidaknya sebagian kata-kata itu masih berlaku. Setidaknya itu yang saya tangkap dari obrolan Snydez mengenai Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint. Kesan pertama dia adalah: bingung--"Apakah ini benar buku humor?"

Meminjam kata Richoz: baiklah. Di sampul belakang buku, memang tertulis "Teknik Presentasi". Namun, untuk cetakan berikut akan saya usulkan pada GPU agar menambahkan, "Bukan Buku Humor--Serius!"[1]

Berikut sebagian masukannya lagi.

setelah membaca mengenai bab penggunaan bullet, gue agak kurang setuju. lha emang itu khan gunanya powerpoint, supaya jadi ringkes. kalo emang mau mempunyai jalan cerita, apa engga lebih baik pake microsoft word?

lalu membaca bab mengenai tata letak ruangan dan layar. halah! ini paling susah, karena yang namanya ruang meeting, kemungkinan besar layout nya udah baku bentuk dan posisinya. yang bisa berubah adalah penontonnya, boleh dikiri boleh di kanan, boleh dibelakang, tapi layar dan proyektor kemungkinan udah baku.
jadi bab tersebut hanya untuk proyektor dan layar tenteng yang bisa dipindah bawa.

yah, paling itu yang aga nge ganjel *wink*

mengenai cara menuliskannya, isman ternyata masih menggunakan humor. jadi biarpun inti tulisannya serius tapi cara menuliskannya bisa dibilang agak semi-formil. sehingga gak terlalu bosen...

Selengkapnya di sini.

Terima kasih, Snydez!

_____________________

[1]: Usul yang--saya yakin--akan segera ditolak.

Thursday, November 15, 2007

Fatal: Ketidakacuhan Semantik dalam Presentasi

Dalam perjalanan ke kantor, saya bertemu mobil kijang yang dicat khusus. Di bagian sampingnya tertulis, "Kampanye Ketertiban Pelaksanaan Aturan Lalu Lintas". Sedangkan di bagian belakang, tertempel stiker miring yang sepertinya ingin menyampaikan dua kalimat: "Stop pelanggaran! Disiplin itu indah."

Sayangnya, peletakan tanda bacanya meleset. Jadinya kira-kira seperti ini.


Banyak sekali penganut slogan ini yang meramaikan lalu lintas Jakarta dan Bandung.


Moral cerita ini berlaku juga untuk presentasi. Jika kita ingin menayangkan sesuatu pada layar besar: periksa dulu tulisan maupun gambarnya. Kesalahan tulis maupun ambiguitas makna bisa berakibat fatal.

Sekaligus: jika Anda tidak tahu fungsi yang namanya SpellCheck (dalam MS PowerPoint bisa diakses dengan menekan tombol F7), jangan gunakan istilah Inggris. Bahkan itu pun tidak cukup. Karena ada saja tulisan yang sintaksnya sudah benar. Namun menggelikan secara semantik. Cukup sekali dalam seumur hidup sajalah saya menghadiri presentasi jasa e-commerce yang menyajikan slide penutup bertuliskan kalimat berikut.

Berarti, dengan menulis blog, saya baru saja menawarkan diri dengan diskon sampai 50%. Yay!



________________________

Contoh lain bisa Anda lihat di Galeri Ketidakacuhan Semantik Nasional.

Monday, November 5, 2007

Tanya Jawab: Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint #6?

Tanya (via Forum): Mengapa mengukur lamanya presentasi berdasarkan jumlah slide adalah Dosa Besar? Biasanya, setiap slide yang saya buat akan saya tambahkan juga sebuah narasi yang harus dibaca jadi saya bisa menghitung lamanya waktu presentasi tersebut.


Jawab: Seperti saya ungkapkan dalam buku Tujuh Dosa Besar (Penggunaan) PowerPoint, "Dosa Besar" adalah istilah yang saya gunakan untuk mengacu kesalahkaprahan dalam praktik presentasi. Bisa jadi yang Mas lakukan memang bukan Dosa Besar #6. Karena ada garis halus antara "mengetahui secara naluriah berapa lama waktu membawakan keseluruhan presentasi" dan "menyamaratakan waktu pembacaan seluruh slide". Yang salah kaprah adalah yang kedua, bukan yang pertama.

Gambarannya begini: Guy Kawasaki menggunakan praktik 10/20: 10 slide yang disajikan tidak lebih dari 20 menit. Tapi, ia tidak menyajikan masing-masing slide secara saklek harus 2 menit. Bagian yang singkat ia bicarakan pendek saja. Yang perlu detail akan ia bahas lebih panjang. Ini adalah praktik umum.

Namun, jika kita menyamaratakan bahwa, "Ah, tiap slide paling kubacakan lima menit saja." Jadi untuk presentasi 2 jam, kita selalu membawakan 120/5 = 24 slide. Setengah jam selalu 30/5 = 6 slide. Dan seterusnya. Ini yang salah kaprah. Karena kita jadi terpaksa memanjang-manjangkan pembahasan poin/pesan yang sudah dipahami oleh hadirin. Atau sebaliknya, memburu-buru waktu dengan mempercepat pembahasan satu slide yang terlalu berjubel informasi, jadinya hadirin nggak sempat menangkap inti pesan kita.

Bayangkan saja misalnya saya sedang berbicara mengenai teknik penulisan. Lantas sampai pada slide analogi berikut yang menjelaskan pencarian inspirasi.


"Genggamlah inspirasi bagaikan peselancar mencari ombak: raihlah yang ada, jangan hanya menunggu yang besar. Tak jarang, ombak kecil justru berujung menjadi besar dan hebat. Uh... hmm, baru semenit, ya? Ngomong apa lagi--ah, iya, celana pria di gambar itu bagus, ya? Aku pengin beli yang seperti itu, tapi nyarinya susah da--lho, kok pada tidur?"


Anda mungkin tertawa, "Masa sih ada yang kayak gitu?"

Jangan salah. Banyak yang berlaku seperti itu. Ciri-cirinya mudah: mereka membahas poin-poin slide seakan membaca kata per kata. Lantas berusaha menjelaskannya lebih lanjut, dengan mengulang kata-kata itu. Atau malah menerangkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan. Intinya: mereka memanjang-manjangkan berbicara karena berasumsi bahwa kira-kira satu slide harus dibacakan beberapa menit.

Dosa Besar #6 ini memang paling sering terjadi pada orang-orang yang bikin presentasi sembarang, lalu tidak melatih penyampaiannya terlebih dahulu. Lebih parah lagi jika presentasi itu pun bukan mereka sendiri yang buat.

Ubahlah kebiasaan buruk ini, demi kepentingan hadirin kita juga.

Cara paling mudah menghindari salah praktik ini sederhana saja: susun sendiri presentasi kita dan latihlah penyampaiannya. Saat kita mencoba menyajikan presentasi yang sudah kita susun terlebih dahulu, otomatis kita jadi tahu: mana yang perlu kita tekankan, mana yang cukup dibahas selintas. Bahkan kita bisa menyadari beberapa rangkaian logika yang tidak alami. Sering kali saat menyusun, kita salah membayangkan cara penyampaiannya.


Singkatnya:
----------------
  1. Salah kaprah dalam Dosa Besar #6 menyangkut pelaku yang menyamaratakan waktu penyajian slide. Bukan yang dapat mengukur secara alamiah berapa lama presentasinya. Panduannya: jika kita tahu mana slide yang harus disajikan secara cepat dan mana yang perlu dibahas lebih lama, itu bukan salah praktik. Tapi kalau cara penyampaian kita sampai didikte oleh asumsi sama rata (contoh: tiap slide tiga menit, lah) kita sendiri, itulah yang salah kaprah.

  2. Susunlah sendiri materi presentasi kita. Lantas latihlah menyampaikan presentasi tersebut secara utuh. Itu akan membantu kita menghindari Dosa Besar #6.

Thursday, November 1, 2007

Celah Dosa Besar: Slide Transition

Berkat Yaya, saya kini bisa mengulik MS PowerPoint 2007. Terima kasih!

Dibandingkan PowerPoint 2003 (atau sebelumnya), antarmuka baru memang sekilas lebih enak digunakan. Namun, sebenarnya perubahan ini lebih banyak membantu bagi orang yang belum terbiasa mengulik PowerPoint versi sebelumnya. Bagi yang sudah, sebagian perubahan ini malah menambah kerja. Untuk mengakses Custom Animation, misalnya, kini harus mengklik submenu atas dua kali. Padahal dulu tinggal klik kanan di objek yang ingin kita animasikan.

Tentu saja, sebagian lain memang menghemat energi. Pilihan mengubah-ubah objek maupun latar belakang slide, misalnya, bisa ditemukan di submenu atas dengan mudah.

Lebih penting lagi: anggaplah submenu Slide Transition seperti wabah pes. Dan hindari sekarang juga.

Hampir semua Slide Transition hanyalah efek sok keren yang membuat laju presentasi jadi gagap.


Mengapa begitu? Karena transisi slide itu hampir selalu tidak berguna. Lebih sering mengganggu, malah. Sebagai hadirin, saya tidak merasa perlu melihat tiap slide muncul garis demi garis, membentuk pola-pola geometrik yang memusingkan, atau berputar-putar.

Apalagi kalau pembicara jadi terpaksa diam dulu...
...beberapa...
...saat...
...berhubung...
...slide-nya...
...masih...
...sibuk...
...berputar-putar.

Lebih baik gunakan saja Custom Animation untuk objek-objek slide berikutnya.
Di gambar atas, misalnya, daripada saya membuat transisi antar-slide penuh gambar, lebih baik menganimasikan gambarnya untuk muncul dengan Fade atau Faded Zoom berkecepatan Very Fast.

Apa bedanya?

Karena praktik ini mensimulasikan kehidupan nyata. Kalau kita ingin menunjukkan sesuatu, kita mengeluarkan barang itu, misalnya, dari saku. Kita tidak meneleportasi para hadirin ke ruangan yang ada barangnya. Praktik kedua ini hanya dilakukan oleh orang yang menyombongkan kekuatan sihir (atau teknologi) dalam konteks yang sama sekali tidak berguna. Sama saja dengan transisi slide.

Jadi, animasikanlah objeknya. Bukan slide-nya.

Kalau ada banyak objek dalam slide?
Atur agar mereka muncul pada urutan yang sesuai dengan cara penyampaian. Jika hadirin perlu melihat gambar dulu baru teks, ya munculkan gambar dulu. Lantas teks dimunculkan setelah itu. Kalau tidak penting urutannya, ya munculkan berbarengan.

Dan ingat: sebisa mungkin atur agar kecepatan animasinya Very Fast.